Setujukah kalian jika Indonesia menerapkan Cancel Culture?

Beberapa tahun terakhir ini, istilah " cancel culture" semakin lazim kita lihat di berbagai media sosial, khususnya di Twitter. Secara sederhana, cancel culture merujuk pada gagasan untuk “membatalkan” seseorang dengan arti memboikot atau menghilangkan pengaruh orang tersebut baik di media sosial maupun nyata. Polanya biasanya seperti ini, seorang public figure melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau problematik kemudian publik merespons di media sosial dengan efek bola salju yang makin lama makin membesar sampai akhirnya ada yang menyerukan si public figure pantas “di- cancel ” yang bisa diartikan ajakan untuk mematikan karier maupun pengaruh si public figure , baik dengan cara memboikot karyanya atau bahkan meminta hukuman dan pertanggungjawaban yang lebih tegas dari industri, kantor, dan institusi lain yang berkaitan dengannya.

Contoh seperti beberapa artis dari Korea Selatan yang di-cancel dan langsung dikeluarkan dari dunia pekerjaannya dengan tujuan membuat mereka jera, karena misal, melakukan tindak pembullyan, atau melakukan hal tidak senonoh lainnya di depan mata publik yang tentunya tidak mencerminkan posisi mereka sebagai public figure.

Nah, bagaimana pendapat kalian dengan cancel culture? Apakah Indonesia harus menerapkannya juga? Yuk diskusi!

cancel culture di media sosial dampaknya bisa sangat fatal buat public figure yang menjadi sasarannya atau bukan hanya public figure pejabat ataupun yang dalam position power bisa kehilangan powernya karna mnejadi target dari orang yang menyerukan cancel culture tersebut.
mengkritik orang, terutama seseorang yang memiliki pengaruh besar, atas perilaku atau idenya yang berbahaya adalah sesuatu yang harus terus dilakukan. call-out culture telah sangat membantu orang-orang kulit berwarna dan komunitas lgbt dalam menjaga eruang mereka bebas dari orang-orang yang menyebalkan.
tetapi kemudian banyak juga yang mengemukakan bahwa mentalitas massa dari cancel culture dapat menjadi racun, dan seperti yang telah terjadi, kampanye media sosial massa terhadap seseorang ini sebenarnya dapat menghalangi mereka untuk tumbuh dan belajar dari kesalahan mereka. alih-alih "membully dan memboikot"mereka, kita harus mendidik mereka dan membuka ruang percakapan yang sehat.
pernahkah kita berfkir dengan apa yang terjadi tersebut dengan menarik sebuah dukungan dan berbalik membenci akan menciptakan sebuah pengalaman yang lebih sulit lagibagi si pembuat kesalahan, dimana mereka tidak akan belajar dari kesalahantersebut dan mungkin akanmemberikan efek psikis yang negatif setelahnya. semua orang berlomba-lomba menjadi polisi moral dengan memberikan komentar negatif dengan maksud dan tujuan agar si pembuat kesalahan merasa bersalah… hal tersebut sebenarnya tidak membenarkan kia untuk menjadi polisi moral yang berhak menghakimi moralitas seseorang.
tapi, memang ekosistem media sosial memberikan ruang kepada semua orang untk menjadi polisi moral untuk menentukan baik tidaknya seseorang atas kesalahan yang mereka perbuat sekali seakan kebaikan mereka sebelumnya tidak lagi berarti. baik tidaknya cancel culture juga masih menjadi perdebatan, selama masih ada ruang untuk siapa saja bisa menjadi polisi moral seseorang di media sosial semua orang akan bisa merasa baik namun mereka juga jahat di sisi lain.

Referensi

Merdeka.com, artikel fisip unair mengenal apa itu cancel culture

Saat ini di Indonesia memang sudah banyak yang menerapkan cancel culture , terutama di twitter. Sebenarnya fenomena ini dapat dilihat dari dua perspektif, cancel culture untuk membuat seseorang bertanggung jawab atas kesalahannya atau bisa juga untuk menghakimi orang tersebut secara sepihak. Melalui penelitian mengenai cancel culture di Amerika, didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan, 58% orang dewasa A.S. menganggap secara umum, cancel culture di media sosial lebih mungkin membuat orang bertanggung jawab, sementara 38% mengatakan itu lebih mungkin untuk menghukum orang yang tidak pantas mendapatkannya. Sekitar 17% orang menyatakan bahwa cancel culture di media sosial membuat orang bertanggung jawab dan mengatakan itu bisa menjadi momen pengajaran yang membantu orang belajar dari kesalahan mereka dan berbuat lebih baik di masa depan. Sedangkan, mereka yang menganggap cancel culture adalah perbuatan yang tidak adil untuk menghukum seseorang, sebanyak 18% mengatakan itu karena orang-orang tidak mempertimbangkan konteks posting atau niat di baliknya sebelum mengkonfrontasi orang itu. Jadi, realitanya banyak pihak yang hanya ikut-ikutan menghakimi tanpa tau apa konteks yang sebenarnya. Banyak juga yang beranggapan bahwa cancel culture saat ini merupakan hukuman yang tidak adil karena tidak bisa menyelesaikan apa-apa dan sebenarnya dapat memperburuk keadaan. Sampai saat ini masih banyak juga yang menganggap bahwa media sosial adalah tempat yang sangat toxic, karena jika kita melakukan sedikit kesalahan, orang lain bisa beranggapan bahwa hal itu adalah kesalahan fatal dan akhirnya terjadi cancel culture . Mereka menolak, mempermalukan, mengkritik di depan umum dan mengucilkan orang tersebut. Tapi, perlu diketahui bahwa cancel culture ini bukanlah hal yang baru karena sudah selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Terkadang aku setuju dengan cancel culture ini, apalagi untuk pelaku kekerasan seksual. Menurut aku mereka pantas mendapatkan itu semua dan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Referensi

PEW Research Center. (2021). Americans and ‘Cancel Culture’: Where Some See Calls for Accountability, Others See Censorship, Punishment. Americans and ‘Cancel Culture’: Where Some See Calls for Accountability, Others See Censorship, Punishment | Pew Research Center (diakses pada 3 Agustus 2021 pukul 23.00)