Perlukah Mural Berisi Kritik Dihapuskan?

|x298

Sepanjang sejarah, seni jalanan kerap menjadi media bagi warga yang ingin menyampaikan kritik dan protes, terutama terhadap pemerintah atau pemilik modal (pengusaha). Seni mural sendiri sudah ada pada zaman dahulu. Seniman mural biasanya menggunakan tema sosial, agama, dan patriotik dengan gambar yang mengarah pada struktur dinding dan ide yang diutarakan.

Beberapa waktu belakangan ini, Seni jalanan atau mural ini menjadi kontroversi di masyarakat, banyak dari seni mural ini berisi kritikan kepada pejabat negara. Informasi mural ini viral melalui sosial media. Contoh seni mural seperti “Dipenjara Karena Lapar, Tuhan Aku Lapar, dan Jokowi 404: Not Found”. Mural ini langsung dihapus oleh pihak berwajib sehingga mural yang berlokasi di Tol Kunciran-Bandara Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten itu sudah tidak jelas bentuknya.

Padahal kegiatan tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Bagaimana menurut kalian? Apakah perlu mural berisi kritikan dihapuskan?

1 Like

Menurut saya pribadi mural seperti itu memang layak untuk dihapus, karena sudah termasuk kategori perilaku vandalisme dengan menggambar pada fasilitas umum dan tanpa adanya ijin terlebih dahulu. Jika ingin menyampaikan pendapat dan kritik maka sampaikanlah di tempat yang seharusnya dengan cara-cara yang tak melanggar hukum juga.

Ditambah lagi dengan gambar yang dibuat seakan-akan mencoreng wajah Presiden membuat mural tersebut diindikasikan sebagai salah satu bentuk penghinaan terhadap Presiden sebagai kepala negara.

1 Like

Saya tidak setuju jika mural yang berisi kritikan dihapuskan. Pada dasarnya, mural merupakan metode dalam meluapkan rasa kejenuhan sekaligus sebagai ungkapan kritik dari komunitas tertentu terhadap arus budaya mainstream yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat kebanyakan. Terlebih lagi, bagi wong cilik (masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah) di masa pandemi dan cenderung bias pada kepentingan kelompok elite tertentu.

Jika ditinjau menggunakan perspektif Louis Althusser, fenomena penghapusan mural yang berisi kritik terhadap pemerintah menandakan bahwa ruang publik cenderung didominasi oleh Represive State Aparatus (RSA). Dalam hal ini, ruang publik diartikan sebagai ruang kesetaraan hak dalam menyampaikan kritik dan gagasan. RSA disini meliputi TNI, polisi, pengadilan, ASN, satpol PP, maupun petugas aparatur negara lainnya.

Represive yang dimaksud ialah tindakan kekerasan simbolik atau nonfisik yang dilakukan oleh aparatur negara dengan menghapus paksa mural yang dinilai membahayakan dan menyebabkan disintegrasi. Adanya dominasi idelogi RSA seperti ideologi norma, etika, agama, dan pancasila ditafsirkan dan dikontekstualisasikan sesuai dengan kepentingan RSA dan bertujuan untuk mempertahankan legitimasi negara, mengingat pernah muncul sebuah wacana agar presiden meletakkan jabatannya karena dianggap tidak mampu mengatasi wabah Covid-19…

Untuk itu, perlu diadakan ruang dialog dua arah antara masyarakat lokal dan aparat agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam membangun wacana hak kesetaraan berpendapat, menerapkan asas praduga tak bersalah bagi si pembuat mural, termasuk dengan efektivitas mural dalam menyampaikan gagasan dan kritik di tengah masifnya ruang media sosial.

2 Likes

Saya setuju dengan pernyataan tersebut bahwa mural tersebut layak untuk dihapus. Selain merusak bangunan, pembuatan mural tersebut juga pasti dilakukan secara ilegal tanpa ada izin kepada pihak berwenang. Setau saya menggambar mural boleh saja, tetapi alangkah lebih baik bila melakukan izin terlebih dahulu atau dilakukan di tempat-tempat yang memang disediakan atau diperbolehkan untuk menggambar mural. Begitu pula dengan menyampaikan pendapat sebaiknya dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan emosi dari publik ataupun pemerintah.

1 Like

Saya pribadi tidak setuju dengan dihapuskannya mural yang berisi kritikan. Mural ini salah satu bentuk protesnya masyarakat kepada pemerintahan. Sebelum adanya pembuatan mural, pasti kita telah melakukan segala hal apapun untuk berdiskusi dengan wakil-wakil rakyat kita, tetapi mungkin, tidak ada hasilnya. Maka, sebagai ganti diskusi, mereka membuat mural yang berisi kritikan agar wakil-wakil rakyat tau bahwa mereka sedang sedang dikritik oleh masyarakat. Jika baliho-baliho wakil rakyat bisa bertebaran di pinggir jalan, mengapa mural yang justru untuk membangun mereka malah di hapus?

1 Like

THIS!

Untuk apa dihapus? Mural itu sebagai salah satu media penyampaian pendapat di ruang publik. Saya tidak paham mengenai bagaimana izin pembuatan mural dan lain-lain, tapi yang saya mengerti para seniman mural sudah tahu mana tempat yang memang diperbolehkan dan bebas dieksplorasi untuk bisa dijadikan sebagai media gambarnya. Jika demikian, apakah masih disalahkan dengan dalih perusakan fasilitas umum?

Saya sendiri menghargai cara penyampain kritik melalui media mural seperti ini. Karena akan menarik perhatian publik dengan gambar yang besar/berwarna sehingga efektivitas komunikasi tersampaikan. Terlepas apakah mural itu sudah memiliki izin atau belum, nyatanya kekuatan seni bisa menjadi sarana ekspresi sosial dan politik. Lalu mengapa pesan atau kritik yang ingin disampaikan oleh mural malah dihapuskan?

Kita sebagai warga memiliki hak dan kebebasan untuk memberi kritik, tentunya dengan cara-cara yang dibenarkan. Bedakan dulu mana yang kritik, penghinaan, propaganda, provokasi atau hoax, baru ambil tindakan untuk menetukan apakah benar perlu dihapus atau tidak.

1 Like