Mengapa "Panic buying" sering terjadi di masa pandemi?

image

Lagi-lagi masalah pandemi tidak ada habisnya untuk dibahas. Pandemi membuat kita harus tetap di rumah saja untuk mengurangi penyebaran virus Coivd-19. Agar kebutuhan kita terpenuhi, kita melakukan stock berupa makanan, masker, hand sanitizier, dan sebagainya agar kita tidak sering ke luar rumah untuk membelinya.

Namun, sebagian orang yang merasa panikan dan was-was, mereka melakukan Panic buying. Panic buying adalah salah satu fenomena sosial yang berulang kali terjadi sepanjang pandemi Covid-19. Panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena takut atau khawatir tidak kebagian, harganya melambung, dan sebagainya. Ketika menghadapi bencana alam seperti banjir atau selepas badai, orang masih punya pertimbangan logis ketika ingin membeli atau menyetok sesuatu. Untuk kasus banjir misalnya, orang tergerak membeli banyak air mineral atau bahan pangan untuk persiapan krisis air bersih. Lain halnya dengan pandemi Covid-19. Di tengah segala ketidakpastian, orang jadi memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar, padahal belum tentu dibutuhkan.

Lantas, mengapa Panic buying masih sering terjadi di masa pandemi? apakah ada alasan terntu sehingga harus memboorng berbagai makanan atau yang lain?

1 Like

Panic buying ini terjadi karena pengambilan keputusan yang bersifat emosional, misal lebih aman punya dulu daripada menyesal kemudian,lalu alasan lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian. Misalkan, takut kehabisan susu atau obat tertentu, padahal produsen masih terus membuatnya.Apalagi di masa pandemi ini yang memberlakukan kebijakan PPKM yang tentunya masyarakat akan memilih untuk memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar.

Dari sisi psikologi terjadinya panic buying didasari atas kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan terhadap suatu wabah. Mereka menganggap akan lebih baik jika mempunyai barang yang paling dicari saat terjadi bencana tersebut dan ā€œmemborongā€ daripada tidak kebagian. Perilaku ini merupakan hal yang wajar bagi manusia, karena menurut saya kepanikan antar manusia itu dapat menular misal mereka melihat media massa yang melaporkan kekosongan barang saat pandemi maka secara naluri mereka akan melakukan hal yang sama. Namun yang harus kita garis bawahi, bahwa panic buying ini bukan lah solusi malah yang ada akan menimbulkan berbagai macam masalah baru. Perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk menngedalikan kecemasan masyarakat misal nya dengan memastikan stok logistik tersebut tidak akan habis.

Argumentasi saya terkait Mengapa Panic Buying Sering Terjadi di Masa Pandemi?

Panic buying adalah salah satu fenomena sosial yang berulang kali terjadi sepanjang pandemi Covid-19. Panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena takut atau khawatir tidak kebagian, harganya melambung, dan sebagainya. Di awal pandemi, kita jamak melihat orang berbondong-bondong memborong masker dan hand sanitizer.
Setahun lebih berselang saat kurva kasus Covid-19 terus melonjak, giliran orang memborong beragam vitamin, obat, sampai susu. Imbas sejumlah aksi borong tersebut membuat stok barang-barang buruan hilang di pasaran. Jika ada, harganya pun melambung tinggi. Melansir BBC, kasus panic buying saat pandemi Covid-19 berbeda dengan aksi borong saat bencana alam.

Ketika menghadapi bencana alam seperti banjir atau selepas badai, orang masih punya pertimbangan logis ketika ingin membeli atau menyetok sesuatu. Untuk kasus banjir misalnya, orang tergerak membeli banyak air mineral atau bahan pangan untuk persiapan krisis air bersih. Lain halnya dengan pandemi Covid-19. Di tengah segala ketidakpastian, orang jadi memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar, padahal belum tentu dibutuhkan.

Panic buying terjadi karena ada rasa ketakutan yang berlebih terhadap sesuatu yang sebenarnya belum terjadi (takut kehabisan barang, takut nanti harganya tambah melambung tinggi). Nah, ketakutan tersebut bisa menular kepada orang lain walaupun sebenarnya alasan dari takut itu sangat tidak rasional (jika semua membeli dan memborong, kenapa saya tidak? nanti saya nyesel nggak beli gimana?)

Dan sebagai makhluk sosial juga, naluri kita secara alami menafsirkan suatu hal berbahaya akan terjadi dari reaksi orang sekitarnya. Jadi ketika orang sekitar beli dan memborong barang banyak, naluri kita juga secara spontan tanpa berfikir logis dalam mengammbil keputusan juga ingin ikut-ikut membelinya.

Faktor pendorong terjadinya panic buying diantaranya rasa ketakutan akan kenaikan harga barang, adanya rasa takut kehabisan stok barang, khawatir terjadi PSBB ulang dan berlangsung lama, untuk memenuhi keinginan diri sendiri, untuk memuaskan rasa ketenangan, dan faktor kebutuhan. Faktor-faktor tersebut juga hampir sama dengan faktor yang melatarbelakangi perilaku panic buying di berbagai negara lain. Untuk mengantisipasi adanya perilaku panic buying, masyarakat berharap kepada pemerintah agar melakukan tindakan cepat dan tegas dalam menangani COVID-19, memastikan ketersediaan stok barang di pasaran, dan menyediakan bantuan-bantuan sosial pada masyarakat.

Panic buying terjadi karena pemborongan barang atau makanan yang didorong oleh rasa ketakutan. Saat pandemi seperti ini kontrol manusia tidak dapat terkendali di tambah situasi sangat tidak kondusif dan banyak ketakutan yang mendorong.

Dalam situasi seperti ini banyak oknum yang tidak bertanggung jawab akan hal seperti ini yang menjadikan barang menjadi langka atau susah dicari dan harga tiba-tiba melonjak naik. Hal ini seperti sangat merugikan banyak orang yang sangat membutuhkan.

Panic Buying disebut juga dengan perilaku kolektif. Perilaku kolektif adalah perilaku yang muncul secara tiba-tiba/spontan bukan kegiatan yang biasa dilakukan dan cenderung tidak sesuai norma (Oliver, 2013). Dalam dunia psikiatri menyebutkan bahwa panik merupakan bagian dari gangguan panik atau serangan panik yang ditandai dengan munculnya perasaan panik secara tiba-tiba, berulang kali, dan tidak terduga (Parks, 2013). Panic buying dijelaskan sebagai perilaku konsumen berupa tindakan membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan pasokan barang di masa depan (Shou dkk., 2011).

Secara psikologis panic buying sebagai bentuk hasil dari perasaan cemas, ketakutan, dan perasaan tidak aman dari suatu kondisi yang mengancam (Cheng, 2004). Panic buying ini bisa terjadi karena beberapa faktor pendorong diantaranya : (Shadiqi, dkk, 2020).

  1. Perilaku konsumen
    Hasil penelitian AndrƔs dan TamƔs (2020) yang dilakukan di Hungaria, panic buying yang terjadi akibat dari COVID-19 menjelaskan bahwa menyebabkan masyarakat menjadi punya respon panik akan kelangkaan ketersediaan barang kebutuhan karena kondisi yang tidak stabil. Sehingga hal ini mendorong masyarakat berbondong-bondong pergi berbelanja kebutuhan dengan kuantitas yang tidak seperti biasanya.

  2. Ketakutan dan kecemasan
    Dipahami sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri untuk keinginan mempertahankan hidup (insting hidup) dan sebagai usaha melindungi dan mempertahankan diri. Cemas dan takut adalah emosi dasar yang tubuh akibat suatu kodisi yang mengancam.

  3. Stress
    Respons stres meningkat saat ada kejadian yang mengancam dengan kesehatan fisik dan mental dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan munculnya perilaku yang tidak seimbang dan tidak tepat dalam menghadapi sebuah ancaman sehingga panic buying ini dilakukan dalam pembelian barang-barang yang kurang dibutuhkan.

  4. Ketidakpastian
    Ketidakpastian dari ancaman yang terjadi kapan akan berakhir atau bahkan akan mengalami peningkatan ancaman dan juga kepastian dalam penyampaian berita atau informasi menyebabkan muncul kepanikan saat krisis kesehatan.

  5. Paparan media
    Kekurangan informasi dan tambahan desas-desus mengakibatkan masyarakat menjadi panik. Kurangnya informasi yang dibutuhkan masyarakat dari pihak berwajib serta maraknya berita palsu juga berpengaruh pada terjadinya panic buying

Sumber :

Shadiqi., A., M., Hariati., R., Hasan., K., F., A., Iā€™anah., N., & Istiqomah., W., A. (2020). Panic buying pada pandemi COVID-19: Telaah literatur dari perspektif psikologi. Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 18.

Oliver, P. (2013). Collective action (collective behavior). In D. A. Snow, D. della Porta, B. Klandermans, & D. McAdam (Eds.), The WileyBlackwell encyclopedia of social and political movements (pp. 1ā€“5). https://doi.org/10.1002/9780470674871.wb
espm032

Parks, P. J. (2013). Panic Disorder. San Diego, CA: Reference Point Press.

Shou, B., Xiong, H., & Shen, Z. M. (2011). Consumer Panic buying and Quota Policy under Supply Disruptions. In Working paper. Hong Kong.

Cheng, C. (2004). To be paranoid is the standard? Panic responses to SARS outbreak in the Hong Kong special administrative region a global disease : Brief Epidemiology. Asian Perspective, 28(1), 67ā€“98. Retrieved from https://www.jstor.org/stable/42704444

Menurut saya, karena sudah kebiasaan dan budaya yang sering terjadi di Indonesia khususnya atau bisa dibilang latah. Seperti awal pandemi panic buying pandemi yaitu masker dan handsanitaizer juga sangat membuming. Selain karena kebiasaan warga Indonesia, ada juga karena kurangnya penyebaran informasi yang kurang akurat. Serta jenjang ikut-ikutan antar satu sama orang lain. Ada rasa dihantui karena wabah pandemi ini dan takut karena tidak kebagian barang tersebut. Kita perlu waspada dan jaga diri, bukan semakin ketakutan karena pandemi ini. Pikiran juga mempengaruhi kesehatan kita.

Sepakat kak! Kecemasan dan kekhawatiran yang dirasakan oleh masyarakat tidak lepas dari penyerapan informasi yang ada. Bahkan kita tidak tahu apakah info tersebut tadi akurat atau tidak. Seperti di awal-awal pandemic di Indonesia, orang-orang memborong untuk membeli masker medis sampai toko-toko kehabisan stock. Padahal sebenarnya yang sangat membutuhkan masker medis adalah tenaga medis itu sendiri, masyarakat biasa dapat meggunakan masker kain sebagai gantinya. Akhirnya dampak yang ditimbulkan menjadi hal yang negatif.

Saya pun sendiri kadang suka termakan informasi sehingga memicu rasa kekhawatiran dalam diri saya untuk membeli perlengkapan seperti masker, handsanitizer, dan stock makanan yang banyak. Perasaan cemas sering saya rasakan khsususnya setelah pandemic yang melanda di Indonesia. Saking merasa cemas sampai-sampai takut untuk keluar rumah dan bertemu dengan orang lain. Segala informasi biasanya saya telan mentah-mentah tanpa memfilter mana informasi yang valid dan akurat. Karena kemarin heboh banget tentang susu beruang, akhirnya saya pun ikut-ikutan beli dan takut persediaannya habis. Menurut saya dengan membelinya, dapat menurunkan tingkat kecemasan yang saya miliki

Saya pikir, hal ini terjadi karena sebagian masyarakat kita cenderung mudah ā€˜dipanas-panasiā€™ berita yang menyebar di media, padahal tidak semua berita adalah akurat atau fakta. Berbagai hoaks bernada negatif tentu dengan mudah memicu ketakutan atau kekhawatiran berlebih di benak masyarakat, sehingga mereka akhirnya memilih mengikuti emosi (perasaan) dibanding logika, dibanding mencerna dahulu bagaimana situasi kini atau yang akan datang ke depannya.

Kemudian, kebiasaan ā€˜ikut-ikutanā€™ juga menjadi faktor kuat dari ā€œpanic buyingā€ ini, apalagi untuk sesuatu yg viral. Sekolompok orang akan gampang terpicu untuk mengikuti apa yang banyak orang lakukan karena tidak ingin ā€˜ketinggalanā€™ atau malah ā€˜kehabisanā€™ sesuatu yang orang lain punya.

Kepanikan dalam berbelanja atau umumnya disebut dengan istilah panic buying diartikan sebagai perilaku konsumen berupa tindakan orang membeli produk dalam jumlah besar untuk menghindari kekurangan di masa depan (Shou et al., 2011) dalam (Shadiqi, et al., 2020). Perilaku ini juga disebut sebagai perilaku penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen. Fenomena panic buying ini terjadi mulai dari Singapura hingga Amerika Serikat yang melaporkan adanya antrian panjang di supermarket karena banyaknya konsumen yang ingin membeli barang seperti beras, hand sanitizer hingga tisu (Thukral dalam Shadiqi et al., 2020). Hal itu diikuti oleh Indonesia sendiri setelah adanya 2 orang pertama terinfeksi Covid-19 (Putra dalam Shadiqi, 2020).

Fenomena panic buying ini menyebabkan sebagian besar negara membuat kebijakan untuk menanggulangi hal tersebut. Salah satunya yaitu dengan membatasi jumlah pembelian, yang diharapkan dapat menekan terjadinya pembelian dalam jumlah besar (Neo, 2020) dalam (Wahyu, et al., 2021). Disamping itu, pemerintah juga berusaha untuk mengedukasi warganya agar tidak melakukan panic buying melalui berbagai media dan elemen (Dumont, 2020) dalam (Wahyu, et al., 2021).

Selain mengalami cemas karena takut tertular, mereka juga mengalami kecemasan apabila barang yang dibutuhkan tidak terpenuhi untuk melindungi dari pandemi. Sehingga hal tersebut memicu timbulnya panic buting. Menurut Myers (2010) dalam (Wahyu, et al., 2021), menyatakan bahwa terdapat gangguan kecemasan yang dimiliki oleh setiap individu ketika menghadapi sebuah stressor. Generalized anxiety disorder diartikan sebagai gangguan kecemasan dimana seseorang terus merasa tegang, gelisah, dan dalam keadaan rangsangan sistem saraf otonom. Gangguan kecemasan tersebut memiliki gejala seperti merasa khawatir, tertekan, dan gelisah. Dengan demikian, hal-hal tersebut mendorong seseorang untuk melakukan panic buying (Taylor, 2019).

Summary

Shadiqi, Muhammad Abdan. Hariati, Rima. Hasan, Khaerullah FAH. Iā€™anah, Noor. Al Istiqomah, Wita. 2020. Panic Buying pada Pandemi COVID-19: Telaah Literatur dari Perspektif Psikologi. Jurnal Psikologi Sosial: 18(xx, xx-xx)

Wahyu, AM. Az Zahra, AC. Firdaus, MIF. Widyatno, Aryudho. 2021. Perilaku Panic Buying Mengiringi Kemunculan COVID-19? Sebuah Studi pada Awal Pandemi di Indonesia. 5(1): 76-98

Panic buying sering terjadi di kalangan masyarakat sejak meningkatnya angka pasien positif Covid. Dari website yang pernah saya baca, ada ahli yang menanggapi hal ini dengan berbagai macam sisi, mulai dari emosi hingga kebutuhan. Ada ahli yang menjelaskan bahwa di tengah wabah virus Covid ini rasa cemas terkait ketersediaan bahan supply sering dirasakan. Dan ada juga yang menjelaskan kalau panic buying terjadi ketika orang ingin meminimalisir risiko karena takut akan krisis bahan makanan dikarenakan adanya kebijakan pemerintah perihal penutupan toko-toko dan pembatasan aktivitas sosial.

Panic buying adalah sebuah situasi di mana banyak orang tiba-tiba membeli makanan, bahan bakar, dll sebanyak mungkin karena mereka khawatir akan sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi. Serta jenis perilaku yang ditandai dengan peningkatan cepat dalam volume pembelian, biasanya menyebabkan harga suatu barang atau keamanan meningkat. Panic buying dapat terjadi ketika konsumen membeli sejumlah besar produk untuk mengantisipasi, atau setelah bencana atau untuk mengantisipasi kenaikan atau kekurangan harga yang besar. panic buying sering dikaitkan dengan keserakahan dapat dikontraskan dengan panic selling yang dikaitkan dengan ketakutan.

COVID-19 memiliki dampak bagi masyarakat salah satunya adalah panic buying. Fenomena panic buying yang terbaru saat ini salah satunya panic buying susu beruang seperti yang kita lihat pada ilustrasi gambar yang diberikan pada topik ini. Faktor pemicu panic buying terhadap susu beruang ini dikarenakan produk ini disebut dapat mencegah dan menyembuhkan pasien Covid-19, sehingga menjadi produk yang diperebutkan oleh masyarakat. Padahal, dalam obat yang direkomendasikan untuk covid-19 tidak ada susu beruang. Namun, untuk meningkatkan imun kita perlu protein yang tidak hanya bisa didapatkan dari susu beruang saja.

Ketua Pusat Krisis Universitas Indonesia menyatakan bahwa perilaku panic buying di tengah pandemi tersebut juga dipicu oleh hilangnya sense of control dari masyarakat. Dalam kondisi tersebut, maka melakukan panic buying adalah bagian dari mekanisme psikologis yang dilakukan oleh masyarakat. Lebih lanjut, ketika pandemi COVID-19 semakin parah, maka akan memperkuat pemikiran akan kematian. Maka dari itu, individu akan dapat menjadi lebih impulsif, termasuk impulsif dalam membeli barang

Penyebab Panic Buying

  • Gangguan psikologis seperti kecemasan karena pemberitaan di media massa. Kecemasan ini dapat mendorong sebagian masyarakat untuk melakukan panic buying. Kecemasan yang dirasakan selama pandemi COVID-19 berlangsung mempengaruhi perilaku belanja.
  • Persepsi kelangkaan barang
  • Ketakutan akan kenaikan harga barang (takut kehabisan stok barang)
  • Khawatir terjadi PSBB ulang, memenuhi
  • Keinginan diri sendiri, memuaskan rasa ketenangan, dan faktor kebutuhan
Sumber

Wahyu, Agung, dkk. 2021. Perilaku Panic Buying Mengiringi Kemunculan COVID-19? Sebuah Studi
pada Awal Pandemi di Indonesia. Humanitas Vol. 5 No. 1
Apa itu panic buying?

1 Like

Sejak adanya pandemic covid-19 di belahan dunia, banyak orang melakukan tindakan panic buying atau memborong barang-barang yang dperlukan di tengah kepanikan. Panic buying juga terjadi di banyak negara tidak hanya di Indonesia. Panic buying bisa dipengaruhi orang lain karena adanya penularan emosi. Saat pembeli pertama mengamati perilaku pembeli kedua yang menimbun bahan belanja, pembeli pertama mungkin bisa terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.Terlebih lagi, di tengah wabah infeksi virus corona, rasa cemas terkait ketersediaan bahan makanan sering dirasakan. Hal tersebut bisa berpindah ke orang lain dan bisa dipercepat oleh media sosial. Bahkan, walau rasa cemas tersebut sebenarnya tidaklah rasional, keinginan panic buying tetap bisa dirasakan.

Banyak peneliti menyimpulkan, alasan psikologis orang-orang melakukan panic buying berakar dari keinginan mereka untuk menekan risiko. Bagi pelaku panic buying , risiko yang menanti karena krisis mungkin akan sedikit berkurang karena bahan-bahan yang ditimbun tetap bisa digunakan di kemudian hari. Kemudian, perilaku menimbun barang dapat menimbulkan rasa ketenangan pada diri pelakunya. Mereka merasa lebih baik begitu ia membawa barang belanjaannya ke rumah serta mengikis ketakutan dan kecemasan yang dirasakan. Namun,Panic buying sejatinya tidak bisa dibenarkan. Panic buying perlu dihindari karena banyak orang di sekitar kita yang masih membutuhkan bahan rumah tangga tersebut. Kita bisa berbelanja secara rasional tanpa harus berlebihan, termasuk untuk menurunkan risiko buang-buang makanan.