Gen Z dan Hustle Culture, Berguna atau Berbahaya?

Hustle Culture saat ini telah menjadi isu yang sedang ramai dibicarakan. Lalu apa sih hustle culture itu sendiri?. Hustle culture merupakan sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat, dengan begitu ia dapat menganggap dirinya sebagai orang yang sukses. Dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial dan gaya hidup yang serba cepat, kini semakin banyak orang yang mengikuti gaya hidup ini. Terutama Gen Z, sepertinya mereka sangat tertarik dengan gaya hidup seperti ini. Melihat bagaimana orang-orang senang menunjukkan “kesibukannya” di media sosial. Gaya hidup yang sibuk ini seakan-akan telah menjadi standar pengukuran produktivitas seseorang. Padahal belum tentu hal tersebut valid menjadi standar pengukuran produktivitas seseorang, apalagi melihat banyak orang yang mempunyai dampak negatif karena gaya hidup seperti ini seperti peningkatan tingkat kecemasan dan gejala depresi. Menurut Youdics sendiri, mengikuti gaya hidup hustle culture lebih banyak bahayanya atau kegunaannya ya?

Sumber

https://academic.oup.com/occmed/article/67/5/377/3859790

Bahaya. Why? karena sesuai dengan namanya budaya hiruk pikuk atau hustle culture merupakan tekanan sosial yang mendorong (atau bahkan memaksa) kita untuk terus bekerja lebih keras, lebih cepat, dan lebih kuat di setiap bidang kehidupan kita. Hal ini merupakan pemujaan gila kerja dan pola pikir bahwa kita harus bekerja terlalu keras engan imingiming sukses. Namun, tidak heran mengapa budaya ini meskipun berdampak negatif tetapi tetap ada hingga saat ini. Sebab, cara hidup ini didorong oleh kapitalisme, dan perusahaan-perusahaan besar serta media sosial mengabadikannya. Ke mana pun kita melihat, orang-orang terus memposting dan membagikan “hustle” dan “grind” mereka. Tidak jarang pula kita mendengar hal-hal seperti, “tidur adalah untuk yang lemah” atau “never stop hustling.” atau yang familiar kita dengar adalah “Don’t stop when you ’ re tired. Stop when youu’re done.” Padahal, hal ini berpotensi menyebabkan orang merasa tertekan untuk bekerja terlalu keras dan mengabaikan hal-hal lain, karena pemikiran yang mendarah daging bahwa bekerja berlebihan berarti sukses dan satu-satunya cara untuk bertahan hidup di dunia ini.
Pendapatku ini diperkuat oleh sebuah studi yang dilakukan oleh P. Afonso, et al (2017) menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih lama dikaitkan dengan status kesehatan mental yang lebih buruk, dan peningkatan gejala kecemasan dan depresi. Jam kerja mingguan yang panjang juga dikaitkan dengan berkurangnya waktu tidur dan meningkatnya gangguan tidur. Hasil ini menegaskan pentingnya mempertahankan jam kerja mingguan yang teratur dan menghindari kerja lembur yang berlebihan untuk mengurangi risiko kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.
Jadi, berdasarkan pemaparanku tersebut, aku pikir penting bagi kita untuk memahami bahwa “hustling” tidak efektif tetapi berbahaya bagi kesejahteraan kita. Productivity is not bad; over-exhaustion is.

Referensi:

P. Afonso, M. Fonseca, J. F. Pires. 2017. Impact of working hours on sleep and mental health. Occupational Medicine. Volume 67, Issue 5, July 2017, Pages 377–382. Oxford Academic.

1 Like

Menurut saya berbahaya,Hustle culture seringkali digaung-gaungkan di masa kini. Semua orang dituntut untuk terus bekerja dalam berbagai waktu dan kondisi, bahkan sampai melupakan keadaan diri sendiri.

Sebuah gaya hidup dimana seseorang merasa bahwa dirinya harus terus bekerja keras dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat, dengan begitu ia dapat menganggap dirinya sukses.

Gaya hidup yang biasa disebut “gila kerja” ini memberikan dampak yang cukup besar pada kesehatan mental seseorang yang menyebabkan depresi hingga masalah kesehatan lainnya.

Hustle culture membuat seseorang untuk terus “bekerja” tanpa memperdulikan rasa lelah yang dialami baik secara fisik atau mental. Meskipun bisa mengabaikan rasa lelah pada awalnya, hal ini tidak akan dapat bertahan dalam jangka waktu lama.

Selain itu, juga bisa membuat seseorang mengabaikan kebutuhan fisiologis seperti istirahat atau tidur yang cukup, makan makanan bergizi dan olahraga teratur demi pekerjaan.

Dilain sisi, hustle culture membuat seseorang terlalu fokus pada satu hal dan mengorbankan hal lainnya, bahkan hal yang disukainya. Hal ini membuat orang tersebut dapat kehilangan sumber kebahagiaan yang dapat mendorong dirinya untuk tetap beraktivitas.

Selain jam kerja yang panjang, hustle culture juga cenderung memaksa seseorang agar dapat menyelesaikan berbagai hal dalam satu waktu alias multitasking. Multitasking sendiri dalam jangka panjang sering menyebabkan orang-orang kurang fokus terhadap kualitas hasil pekerjaannya dan hal ini tidak lah efektif.

Dengan memaksa seseorang harus terus bekerja keras, hustle culture juga dapat memicu fenomena burn out yang disebabkan stress kronis yang tidak terkelola dengan baik. Yang ditandai dengan ciri-ciri kemampuan bekerja berkurang, berpandangan negatif terhadap pekerjaan atau rekan kerja dan sering merasa lelah.

Berasal dari pikiran bahwa manusia dinilai hanya dari banyak hasil yang dicapai maka tidak tercapainya hasil tersebut akan membuat seseorang merasa tidak berharga dan tidak berguna. Hustle culture membuat orang-orang untuk berpacu dan berusaha “bertahan” lebih dalam dari rekannya. Sehingga dapat menimbulkan lingkungan kompetitif yang negatif.

2 Likes