Bagaimana sejarah musik Elektronik di Indonesia?

Bagi sebagian orang, jenis musik elektronik ini mungkin akan terasa asing didengar. Apalagi karna jarang sekali musisi-musisi Indonesia yang menjadikan musik elektronik sebagai aliran musik mereka. lalu bagaimana sejarah musik Elektronik sendiri?

Genre musik elektronik kini bisa dikatakan sebagai bagian dari arus utama industri musik Indonesia. Kondisi ini sebenarnya cukup mengejutkan. Riri Mestica, salah satu DJ generasi awal di Indonesia, mengatakan bahkan pada 2000-an, saat ia mulai menggarap album perdananya, nyaris tak ada produser yang paham musik elektronik. Sekitar satu dasawarsa kemudian, genre ini sudah menjadi populer. Terhitung cepat.

Meski begitu, sejarah musik elektronik di Indonesia punya riwayat yang panjang. Thom Holmes dalam buku Electronic and Experimental Music: Technology, Music, and Culture (edisi ke V), menyebutkan bahwa jejak awal musik elektronik di Indonesia bisa ditengok pada 1963. Saat itu Slamet Abdul Sjukur merilis Latigrak, komposisi musik balet yang dipadukan dengan gamelan. Pementasan itu berlokasi di Paris, kota tempat Sjukur berproses bersama GRM (Groupe de Recherche Musicale) yang didirikan oleh musisi eksperimental Pierre Schaeffer. Sjukur baru menulis komposisi elektronik keduanya pada 1984, berjudul Astral.

Sjukur kala itu menggarap komposisi musik elektronik Latigrak di studio milik kelompok yang didirikan Schaeffer di Paris. “Sjukur adalah musisi Indonesia pertama yang mencebur dalam musik elektronik, bahkan sebelum synthesizer dikenalkan di Indonesia,” tulis Holmes.

Sejarah musik elektronik di Indonesia juga bisa dilihat dalam artikel Bob Gluck yang pertama kali terbit di The Electronic Music Foundation Institute pada 2006 silam. Menurut Gluck, setelah Sjukur, era musik elektronik di Indonesia masuk pada gelombang kedua yang berlangsung di dekade 1970-an. Saat itu, cukup banyak musisi Indonesia yang membuat album musik elektronik. Salah satu faktor pendorongnya adalah alat musik elektronik semisal synth yang semakin mudah untuk diakses.

Beberapa album elektronik yang disebutkan Gluck adalah Batas Echo (1978) yang dibuat oleh Harry Roesli, Saluang Pekan Komponis I (1979) ciptaan Otto Sidharta, dan Dilarang Bertepuk Tangan di Dalam Toilet dari Sapto Raharjo yang dirilis pada 1980. Otto Sidharta dan Sapto Rahardjo bisa dibilang adalah wakil dari gelombang ketiga yang tumbuh di era 1980-an.

Menurut Thom Holmes, perkembangan musik elektronik di Indonesia amat menarik. Sebab musisinya tak sekadar bermain di ranah elektronik. Musisi Indonesia banyak yang mengombinasikan notasi musik dan instrumen tradisional. Hasilnya tentu saja komposisi yang nyaris tiada dua.

“Salah satu ciri penggabungan ini adalah penggunaan nada pentatonik yang lekat dengan gamelan,” tulis Holmes.

Memang musisi elektronik generasi awal di Indonesia banyak yang berangkat dari ranah musik tradisional. Tengoklah perjalanan Sapto Raharjo dalam bermusik. Saat masih anak-anak, pria kelahiran 1955 ini belajar bermain gamelan dan menjadi anggota kelompok karawitan di Yogyakarta, Arena Budhaya. Pada 1970-an, ia juga memproduksi musik yang menggunakan kaleng bekas. Dalam komposisinya, dia mencoba memadukan irama pentatonik dan diatonik.

Begitu pula I Wayan Gde Yudane. Komposisi pertamanya adalah musikalisasi puisi yang menggunakan gamelan. Yudane termasuk generasi musisi elektronik 90-an, alias gelombang keempat.

Pada dekade 1990an, banyak seniman muda yang tertarik mengeksplorasi lebih dalam musik elektronik. Beberapa pemuda ini kemudian mendirikan sindikasi. Semisal Performance Fucktory yang berdiri di Yogyakarta pada 1997. Pendiri komunitas ini adalah Marzuki Mohamad yang sekarang lebih dikenal sebagai Kill the DJ, Kus Widananto yang populer dipanggil Jompet, Ari Wulu, Ugoran Prasad, dan Yosef Herman Susilo.

“Kami berlima sama-sama senang musik elektronik. Tapi waktu itu elektronika belum seperti sekarang, yang dikuasai EDM dan nge-pop. Waktu itu banyak turunan genre yang eksploratif dan liar,” ujar Juki, panggilan akrab Marzuki.

Dari Performance Fucktory inilah lahir Parkinsound, festival musik elektronik pertama di Indonesia. Nama Parkinsound merupakan gabungan tiga kata: “park”, “in”, dan “sound”. Perhelatan perdana mereka diadakan pada 1999, bertempat di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Setahun kemudian Parkinsound diadakan di pilar Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta yang saat itu belum rampung dibangun.

Pada 2001 acara dibuat di Stadion Kridosono. Parkinsound berkembang perlahan. Pada gelaran pertama, penontonnya memang terbatas karena tempat yang tak luas. Pada gelaran kedua, penonton sudah berkisar seribuan orang. Pada Parkinsound 4, sekaligus terakhir, jumlah penonton diperkirakan mencapai 4.000 orang.

Festival ini dibuat dengan perjuangan berat. Beberapa kali Juki dan kawan-kawan harus nombok untuk menutupi kekurangan dana. “Kalau sekarang dikonversi, duit pribadi yang dipakai buat nombok itu sudah bisa buat beli mobil Innova. Hingga Parkinsound 3, semua yang ikut bekerja rata-rata berasal dari kawan di Forum Musik Fisipol UGM.”

Menurut Juki, musik elektronik kala itu memang punya citra yang tak bagus. “Banyak gelaran rave party yang dibubarkan aparat, ormas, atau justru warga sendiri.” Salah satu penyebabnya, menurut Juki adalah ekspresi acara-acara itu berjarak secara sosial budaya dengan lingkungan tempat yang digunakan. “Namun Parkinsound aman, karena lebih performatif, bukan rave party.”

Parkinsound tidak melulu menghadirkan musik elektronik. Ia menampilkan berbagai genre musik: jungle, deep house, industrial, hingga rock. Lebih seperti pertunjukan kawin massal musik elektronik dengan genre musik lain. Beberapa band yang pernah tampil di sini adalah Electrofux, Mobil Derek, Melancholic Bitch, Homogenic, Teknoshit, hingga Koil.

Festival bersejarah ini tidak pernah lagi digelar, terakhir berlangsung pada 2004. Alasannya sederhana, Juki dan kawan-kawan sadar bahwa mereka adalah seniman yang kodratnya adalah berkarya, bukan sebagai promotor konser.

“Kalau mau menghidupkan Parkinsound lagi, saat ini saya sudah tidak begitu tertarik kerja promotor dan organizing-nya, tapi bagaimana memproduksi konten artistik dan spectacle-nya,” kata Juki.