Istilah anoreksia berasal dari bahasa Yunani, ”a” kata depan untuk negasi dan ”orexis” nafsu makan. Sehingga anoreksia berarti hilangnya/tidak adanya nafsu makan (NN B, 2008). Gilbert menyatakan bahwa anoreksia nervosa adalah suatu keadaan dimana penderitanya, biasanya perempuan, menolak untuk makan dalam jumlah yang cukup untuk memelihara berat badan yang normal sesuai dengan tinggi badannya (Garrow dan James, 1993).
American Psychiatric Association menggariskan beberapa kriteria untuk mendiagnosa kejadian anoreksia nervosa. Seseorang dikatakan mengalami anoreksia nervosa jika memenuhi kriteria diagnosis berikut.
Kriteria Diagnosis untuk Anoreksia Nervosa Menurut DSM-IV (Brown, 2005)
-
Menolak untuk menjaga berat badan pada atau di atas batas minimal berat badan untuk usia dan tinggi badan (contoh kasus: kehilangan berat badan yang memicu pemeliharaan berat badan hingga kurang dari 85% berat badan yang diharapkan atau gagal untuk mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan, yang mengarah pada berat badan kurang dari
85% berat badan yang diharapkan).
-
Rasa takut yang hebat akan kenaikan berat badannya atau menjadi kegemukan, walaupun sedang dalam kondisi kurus.
-
Adanya gangguan dalam cara bagaimana berat badan atau bentuk tubuh seseorang dirasakan. Adanya pengaruh berat badan atau bentuk tubuh yang tidak semestinya dalam penilaian diri atau adanya penyangkalan tentang betapa seriusnya kondisinya yang kurus.
-
Terjadinya amenorrhea (tidak haid) dalam 3 kali siklus berturut-turut pada wanita yang sudah mengalami haid pertamanya namun belum memasuki masa menopause.
Lebih lanjut, DSM-IV menspesifikasikan penderita anoreksia nervosa menjadi dua subtipe (Brown, 2005), yaitu:
-
Restrciting type
Selama episode anoreksia nervosa, penderita tidak secara reguler melakukan praktik binge-eating atau purging behavior (contohnya, muntah yang disengaja, penyalahgunaan laksatif, diuresis atau enema).
-
Binge-eating/Purging type
Selama episode anoreksia nervosa, penderita secara reguler melakukan praktik binge-eating ataupun purging behavior (contohnya, muntah yang disengaja, penyalahgunaan laksatif, diuresis atau enema).
Selain DSM-IV, ICD-10 juga menetapkan kriteria untuk mendeteksi kejadian anoreksia nervosa. Secara umum kriteria ICD-10 mirip dengan kriteria DSM-IV namun terdapat kekhususan, yaitu:
Kriteria Diagnosis untuk Anoreksia Nervosa Menurut ICD 10 (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005)
-
Cara yang digunakan untuk memicu kehilangan berat badan atau menjaga agar tetap kurus seperti menghindari makanan yang dapat membuat gemuk, melakukan muntah yang disengaja, olahraga/latihan fisik secara berlebihan atau penggunaan obat penurun nafsu makan atau diuretik secara berlebihan.
-
Terjadinya gejala fisiologis yang khas, termasuk ”gangguan endokrin secara luas yang melibatkan sumbu hipothalamus, pituitari dan gonad”. Pada wanita gejala ini akan bermanifestasi sebagai amenorrhea (tidak haid). Sedangkan pada pria akan bermanifestasi sebagai hilangnya gairah dan potensi seksual. Selain itu gejala ini dapat pula bermanifestasi sebagai kenaikan tingkat hormon pertumbuhan, kenaikan tingkat kortisol, perubahan pada metabolisme perifer pada hormon tiroid dan abnormalitas sekresi insulin.
-
Jika onset terjadi sebelum pubertas, maka perkembangan menjadi terlambat atau terhambat.
Statistik Anoreksia Nervosa
Sejak pertama kali diuraikan pada akhir tahun 1800-an, anoreksia nervosa atau sindrom melaparkan diri tetap menjadi suatu fenomena yang langka hingga tahun 1960-an dimana insidennya mulai meningkat secara stabil (McDuffie dan Kirkley dalam Krummel dan Etherton, 1996). Hal ini dibuktikan oleh sebuah studi yang dilakukan di Monroe County, New York. Hasil studi tersebut memperlihatkan insiden anoreksia sebesar 0,35 kasus per 100.000 populasi antara tahun 1960 sampai 1969 dan mengalami kenaikan menjadi 0,64 kasus per 100.000 di tahun 1970-1976 (Romano dalam Goldstein, 2005).
Sebuah studi di Swiss yang melihat kembali riwayat kasus anoreksia dan mengambil sampel dari 3 dekade memperlihatkan kenaikan yang signifikan pada insiden anoreksia mulai 0,38 kasus per 100.000 populasi pada tahun 1956-1958, menjadi 0,55 kasus per 100.000 pada 1963-9165 dan 1,12 kasus per 100.000 populasi pada dekade terakhir yaitu tahun 1973-1975 (Goldstein, 2005). McDuffie dan Kirkley dalam Krummel dan Etherton (1996) memperkirakan prevalensi anoreksia di Amerika Serikat sebesar 0,7-1% pada wanita muda.
Studi di tahun 2000-an mengestimasi bahwa 0,5-3,7% wanita menderita anoreksia (Department of Health and Human Services, 2006). Fairburn dan Hill dalam Geissler dan Powers (2005) menyebutkan bahwa insiden anoreksia pada wanita sebesar 8 kasus per 100.000 populasi, sedangkan untuk laki-laki kurang dari 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Dari hasil ini terlihat bahwa anoreksia nervosa lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan rasio prevalensi kasus pada laki-laki:perempuan sebesar 1:6-1:10. Rerata poin prevalensi anoreksia nervosa yaitu sekitar 280 kasus per 100.000 populasi (0,28%). Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al (2005) menyebutkan bahwa insiden anoreksia sebesar 7 kasus per 100.000 populasi dan diperkirakan 4.000 kasus baru muncul di Inggris. Sedangkan prevalensinya berkisar antara 0,1-1%.
Brown (2005) menyebutkan bahwa diperkirakan 0,2-1% remaja putri dan wanita muda mengalami anoreksia nervosa. Studi lain menyebutkan bahwa prevalensi anoreksia di negara-negara barat lebih tinggi daripada negara lainnya di dunia. Prevalensi anoreksia pada wanita dari negara barat berkisar antara 0,1-5,7%. Sedangkan untuk wanita yang bukan berasal dari negara barat berkisar antara 0,46- 3,2%. Namun di negara-negara non-barat menunjukkan terjadinya peningkatan kasus (Tiemeyer, 2007).
Beberapa statistik lainnya menyebutkan, sekitar 0,3-1% wanita muda menderita anoreksia nervosa (Eating Disorders Coalition for research, Policy & Action, 2008). Satu dari 200 wanita Amerika menderita anoreksia dan diperkirakan hanya 10-15% dari kasus anoreksia atau bulimia yang diderita oleh laki- laki (NN A, 2008). Sebuah studi di Singapura oleh Lee (2005) menunjukkan terjadinya peningkatan yang signifikan kasus anoreksia nervosa. Terjadi 4-6 kali lipat peningkatan kasus baru anoreksia mulai dari 6 kasus di tahun 1994 menjadi 34 dan 24 kasus di tahun 2001 dan 2002. Dr. Ki, seorang psikiater dari Korea Selatan mengatakan bahwa peningkatan kasus penyimpangan perilaku makan sudah menjadi suatu fenomena tersendiri. Beliau mengatakan hanya melihat satu orang pasien anoreksia saat pertama kali datang ke Jepang di tahun 1991. Setelah dua tahun dia berpraktek, dia telah menerima lebih dari 200 orang pasien yang setengahnya merupakan penderita anoreksia dan setengahnya bulimia (Efron, 2008).
Selain penelitian mengenai prevalensi atau jumlah kasus, onset anoreksia juga menjadi salah satu fokus penelitian. American Psychiatric Association (1994) menyebutkan bahwa rerata usia onset anoreksia nervosa yaitu pada usia 17 tahun. Mereka yang berumur di atas 40 tahun jarang sekali mengalami anoreksia. Selain itu, National Eating Disorders Association (2006) melaporkan bahwa 40% dari kasus baru anoreksia nervosa dialami oleh remaja putri antara usia 15-19 tahun (Tiemeyer, 2007).
Dampak Anoreksia Nervosa
Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) mengatakan bahwa banyak komplikasi fisik yang dapat terjadi akibat anoreksia nervosa. Jenisnya pun bervariasi, terutama mempengaruhi sistem utama dari tubuh manusia, yaitu: kardiovaskular, hematologi, gastrointestinal, renal, endokrin dan skeletal. Kebanyakan dari komplikasi yang terjadi merupakan efek primer dan sekunder dari kelaparan.
Secara khas, remaja dengan anorexia nervosa nampak lebih muda dari remaja seusinya, meunjukkan terjadinya cachexia dan atrofi dada. Kulit seringkali kering dan cenderung berwarna kuning. Sementara itu komplikasi kardiovaskular yang paling dikhawatirkan adalah terjadinya brakikardia.
Secara umum penderita anoreksia nervosa bisa mengalami perubahan pada kulit dan rambut tubuh dengan ciri khas timbulnya lanugo (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al., 2005). Lanugo adalah rambut tipis/halus yang tumbuh pada kulit yang menahan udara dalam rangka mengurangi hilangnya panas tubuh dan juga menggantikan fungsi insulator lapisan lemak yang hilang (Wardlaw dan Kessel, 2002).
Menurunnya kekuatan otot dan stamina, menurunnya substansi otak, jantung yang mengecil seiring dengan hilangnya otot, penurunan kesuburan dan fungsi reproduksi, penurunan fungsi pada sistem endokrin, abnormalitas pada saluran pencernaan dan kelainan pada darah merupakan dampak lain yang bisa terjadi pada seseorang yang mengalami anoreksia nervosa (Treasure dan Murphy dalam Gibney, et al, 2005). Wardlaw dan Kessel (2002) menyebutkan kerentanan terhadap infeksi yang disebabkan menurunnya jumlah sel darah putih juga menjadi dampak pada penderita anoreksia.
Menurut Grosvenor dan Smolin (2002), jika dilihat mulai dari awal seseorang mengalami anoreksia nervosa, maka pada awalnya orang tersebut akan mengalami kehilangan berat badan. Saat kehilangan berat badan menjadi parah, gejala dari sindrom kelaparan akan mulai muncul. Beberapa diantaranya, yaitu penurunan cadangan lemak, kelemahan otot, penurunan pertumbuhan, aktivitas metabolik menurun, penurunan suhu tubuh dan energi ekspenditur. Menurunnya cadangan lemak memicu tubuh menjadi tidak toleran terhadap dingin yang kemudian berujung pada timbulnya lanugo. Pada perempuan akan terjadi penurunan tingkat hormon estrogen yang akan berakibat pada terjadinya amenorrhea, sedangkan pada laki-laki terjadinya penurunan tingkat hormon testosteron.
Amenorrhea, hilangnya berat badan dan cadangan lemak dan rendahnya asupan Kalsium dan vitamin D berkontribusi terhadap terjadinya penurunan aktivitas pembentukan tulang, meningkatkan kehilangan tulang dan risiko osteoporosis. Sejalan dengan itu Dr. Il menyebutkan bahwa penderita anoreksia dikhawatirkan akan mengalami osteoporosis pada saat orang tersebut mencapai usia menapouse (Efron, 2008). Hal ini dibuktikan kemudian dibuktikan oleh sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa 38-50% penderita anoreksia mengalami osteoporosis (NN B, 2008).
Pada tahap akhir, lanjut Grosvenor dan Smolin (2002) akhir dari fase kelaparan adalah abnormalitas keseimbangan elektrolit, dehidrasi, edema, abnormalitas jantung, tidak adanya benda keton akibat deplesi cadangan lemak dan berujung pada infeksi yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan nutrisi. Organ- organ tubuh menyusut sejalan dengan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan tidak lagi dapat menjalankan fungsi esensialnya. Suhu tubuh dan tekanan darah turun drastis, detak jantung menjadi tidak beraturan dan dapat memicu terjadinya cardiac arrest.
Ung (2005) juga menyatakan bahwa banyak dari gejala klinis yang dialami oleh penderita anoreksia nervosa merupakan gejala sekunder sebagai reaksi tubuh terhadap upaya melaparkan diri orang tersebut. Gejala ini mencakup: amenorrhea, pubertas yang tertunda, atrophic vaginitis, konsipasi, hiperkolestrolaemia, hipofosfatemia, hipercortisolaemia, osteopenia, hipotensi, hipotermia dan beberapa gejala lainnya.
Selain dampak pada fisik seseorang, banyak penelitian juga dilakukan untuk mengetahui kontribusi anoreksia nervosa sebagai salah satu penyebab kematian. Herzog dan Bradburn dalam Cooper dan Stein (1992) menyebutkan sebuah penelitian kohort berbasis rumah sakit dengan waktu follow up 10 tahun menemukan bahwa angka kematian akibat anoreksia mencapai 6,6%. Seluruh kejadian kematian tersebut merupakan akibat dari komplikasi anoreksia nervosa. Jika waktu follow up diperpanjang menjadi 20 tahun maka didapatkan angka kematian menjadi 16%. Sedangkan jika diperpanjang menjadi 33 tahun, mencapai 18%.
Selain itu, seorang penderita anoreksia memiliki risiko 12 kali lebih besar untuk meninggal dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menderita anoreksia (NN A, 2008). Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian tersebut, diperkirakan 5-20% penderita anoreksia nervosa tidak akan bertahan hidup terhadap komplikasi yang dialaminya terkait dengan anoreksia. Angka ini menunjukkan bahwa anoreksia merupakan salah satu kelainan mental dengan angka kematian yang paling tinggi (Tiemeyer, 2007).
National Institute of Mental Health (2006) menyebutkan angka mortalitas diantara orang yang mengalami anoreksia diperkirakan sebesar 0,56% per tahun atau kira-kira 5,6% per dekade. Angka ini 12 kali lebih tinggi daripada angka mortalitas tahunan untuk semua penyebab kematian pada wanita usia 15-24 tahun di populasi umum.
Karakteristik Khas Pada Penderita Anoreksia dan Bulimia
Orang yang sedang memasuki tahap menjadi anoreksia memperlihatkan beberapa tanda peringatan yang penting. Tanda pertama yaitu berdiet menjadi salah satu fokus pada hidupnya. Fokus ini seringkali memicu terbentuknya persepsi diri yang negatif dan kebiasaan makan yang abnormal. Contohnya: membelah kacang menjadi setengahnya sebelum memakannya dan atau menyebarkan makanan di sekeliling piring makannya agar telihat banyak. Saat penyimpangan mulai bertambah parah, makanan dibagi menjadi makan yang aman dan tidak aman dengan jumlah makan yang aman menjadi sangat sedikit.
Lambat laun penderita anoreksia menjadi lekas marah, menunjukkan sikap permusuhan dan mulai menarik diri dari keluarga dan teman-temannya. Penderita anoreksia juga merasa bahwa diri mereka rasional sedangkan orang lain tidak rasional. Mereka juga cenderung terlalu mengkritisi diri mereka sendiri dan orang lain. Tidak ada yang memuaskan karena semua harus sempurna. Hidup menjadi selalu suram, tidak bermakna dan tidak ada harapan. Seiring dengan memburuknya penyimpangan, tingkat stress juga meningkat, terjadinya gangguan tidur dan timbul perasaan depresi.
Pada akhirnya, penderita anoreksia mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang sangat sedikit, 300-600 kkal/hari (Wardlaw dan Kessel, 2002).
Tiemeyer (2007) juga menyebutkan bahwa mereka yang berjuang dengan anoreksia seringkali terseret ke dalam sebuah bentuk isolasi. Hal ini karena mereka membiarkan persahabatannya melemah atau malah berakhir sama sekali. Isolasi seringkali berawal dari waktu-waktu yang melibatkan makanan. Bagi penderita anoreksia, waktu makan dengan keluarga atau teman menimbulkan risiko untuk dilihat atau dinasihati bahwa ia harus makan lebih banyak. Waktu makan menjadi saat yang paling tidak menyenangkan karena ia harus tampak senormal mungkin. Sehingga secara perlahan ia mulai menarik diri untuk mengikuti waktu-waktu tersebut.
Seiring dengan meningkatnya stress, penderita anoreksia juga seringkali mempraktikan perilaku menyakiti diri. Dua puluh lima persen orang yang mengalami penyimpangan perilaku makan melakukan hal tersebut (Sansone, Levitt dan Sansone dalam Tiemeyer, 2007). Perilaku menyakiti diri yang paling dikenal yaitu menyakiti diri dengan memotong menggunakan benda tajam seperti silet, pisau, gunting atau benda lainnya. Kebanyakan penderita yang melakukan hal tersebut beralasan untuk menghilangkan stress yang mereka rasakan.
Hal penting yang harus diingat adalah mereka melakukannya tidak untuk mendapatkan perhatian orang lain. Kebanyakan dari mereka akan merasa malu jika perilaku mereka tersebut diketahui oleh orang lain. Selain itu, mereka yang menyakiti diri sendiri jarang sekali melakukan bunuh diri. Menyakiti diri adalah cara untuk melalui sebuah hari yang penuh dengan tekanan (Tiemeyer, 2007).
Referensi:
NN B. 2008, “Anorexia Nervosa”, http:/en.wikipedia.org/wiki/Anorexia_nervosa.
Garrow, J.S. & W.P.T. James. (ed). 1993, Human Nutrition & Dietetics Ninth ed., Churchill Livingstone, London
Brown, J.E. et al. 2005, Nutrition Trough the Life Cycle 2nd edition, Thomson Wadswoth, Belmont.
Gibney, M.J. et al. (ed). 2005, Clinical Nutrition, Blackwell Science, Ltd., Oxford.
Krummel, D.M. & Penny M. K. (ed). 1996, Nutrition in Women’s Health, Aspen Publisher’s Inc, Maryland.
Goldstein, D.J. (ed). 2005, The Management of Eating Disorders and Obesity, Humana Press, Totowa.
Geissler, C. & Hilary P. (ed). 2005, Human Nutrition, 11th edition, Elsevier, Churchill Livingstone, London.
Department Health and Human Services. 2006, “Eating Disorders Facts About
Eating Disorders and the Search for Solutions”, http://www.nimh.nih.gov.
Tiemeyer, M. 2007, “Anorexia Statistics”, http://eatingdisorders.about.com.
Eating Disorders Coalition for Research, Policy & Action. 2008, “Statistics & Study Findings”, http://www.eatingdisorderscoalition.org/reports/statistics.html.
Lee, H.Y. et al. 2005, “Anorexia nervosa in Singapore: an eight-year retrospective study”, Singapore Medical Journal, [Online], vol. 46, no. 6, pp. 275-281.
Efron, S. 2006, “Eating Disorders on Rise in Asia”, www.healthyplace.com.
Cooper, P.J & Alan S. (ed). 1992, Feeding Problems and Eating Disorders in Children and Adolescents. Harwood Academic Publisher, Massachusetts
Wardlaw, G.M. & Margaret W.K. 2002. Perspectives in Nutrition fifth edition McGraw-Hill, New York.
Grosvenor, M.B. & Lori A. S. 2002, Nutrition From Science to Life, Harcourt College Publishers, Orlando.
Ung, E.K. 2005, “Eating Disorders in Singapore: coming of age”, Singapore Medical Journal, [Online], vol. 46, no. 6, pp. 254-258.