Apa Yang Dimaksud Dengan Ganti Rugi?

image

Menurut Pasal 1 angka 22 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, definisi ganti rugi adalah sebagai berikut,

“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Dari segi kacamata yuridis, konsep ganti rugi dalam hukum dikenal dalam 2 (dua) bidang hukum, yaitu sebagai berikut:[1]

  • Konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak

  • Konsep ganti rugi karena perikatan berdasarkan undang-undang termasuk ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.

Banyak persamaan antara dua konsep tersebut, namun perbedaannya juga banyak. Ada juga konsep ganti rugi yang dapat diterima dalam sistem ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, tetapi terlalu keras jika diberlakukan dalam konsep wanprestasi kontrak. Misalnya ganti rugi yang menghukum (punitive damages) yang dapat diterima dengan baik dalam ganti rugi karena pperbuatan melawan hukum tetapi pada prinsipnya sulit diterima dalam ganti rugi karena wanprestasi kontrak.

Ganti rugi dalam bentuk menghukum ini adalah ganti rugi yang harus diberikan kepada korban dalam jumlah yang melebihi kerugian sebenarnya. Ini dimaksudkan untuk menghukum pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum tersebut. Karena jumlahnya melebihi dari kerugian yang nyata diderita, maka untuk ganti rugi yang menghukum ini sering disebut dengan istilah uang cerdik“ (smart money)

Dalam KUH Perdata, pengaturan tentang kerugian dan ganti rugi dirumuskan dalam 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:[2]

  • Ganti Rugi Umum
    Yakni ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya termasuk di dalamnya perbuatan melawan hukum. Ketentuan tentang ganti rugi umum ini dalam KUH Perdata diatur dalam bagian keempat dalam buku ketiga, mulai dari pasal 1243 sampi pasal1252. dalam hal ini untuk ganti rugi tersebut, KUH Perdata secara konsisten untuk ganti rugi digunakan istilah:

    • Biaya
      Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost atau uang , atau apapun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrakatau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum, misalnya biaya perjalanan, konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain

    • Rugi
      Dalam arti sempit, yang dimaksud dengan rugi atau kerugian adalah keadaan berkurang atau merosotnya nilai kekayaan kreditur sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum

    • Bunga
      Merupakan suatu keuntungan yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Pengertian bunga ini lebih luas dari pengertian bunga sehari-hari yan hanya berarti “bunga uang“ (interest), yang hanya dihitung dari persentase hutang pokoknya.

  • Ganti Rugi Khusus
    yakni ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul karena perikatan- perikatan tertentu. Dalam hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum. Selain dari ganti rugi dari bentuk yang umum, KUH Perdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal berikut:

    • Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (pasal 1365)

    • Ganti rugi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (pasal 1366 dan pasal 1367.

    • ganti rugi untuk pemilik binatang

    • ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (pasal 1369)

    • ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (pasal 1370)

    • ganti rugi karena orang telah cacat anggota badan (pasal 1371)

    • ganti rugi karena tindakan penghinaan (pasal 1380)

Ganti Rugi Karena Perbuatan Melawan Hukum

Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Sebenarnya hukum yang mengatur tentang ganti rugi perdata ini sudah lama dikenal dalam sejarah hukum.

Dalam Lex Aquilia salah satu undang-undang yang berlaku di jaman Romawi, konsep ganti rugi ini justru dapat terbaca dalam chapter pertamanya, yang mengatur sebagai berikut:

“Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki empat (empat) milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang didapati oleh properti tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak tanggung jawabnya“ (justinian, 1979:71). [3]

Ganti Rugi Menurut Hukum Secara Umum

Bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum yang dikenal oleh hukum adalah sebagai berikut:[4]

  • Ganti Rugi Nominal
    Jika adanya perbuatan melawan hukum yang serius, seperti perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan, tetapi tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban, maka kepada korban dapat diberikan sejumlah uang tertentu sesuai dengan rasa keadilan tanpa menghitung berapa sebenarnya jumlah kerugian tersebut. Inilah yang disebut ganti rugi nominal.

  • Ganti Rugi Kompensasi
    Merupakan ganti rugi yang merupakan pembayaran kepada korban atas dan sebesar kerugian yang benar-benar telah dialami oleh pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum. Ini juga disebut ganti rugi aktual. Misalnya ganti rugi atas seluruh biaya yang dikeluarkan oleh korban, kehilangan keuntungan/gaji, sakit dan penderitaan, termasuk penderitaan mental seperti stres, malu, jatuh nama baik, dan lain-lain.

  • Ganti Rugi Penghukuman
    Ganti rugi penghukuman (punitive damages) merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya. Biasanya jumlah ganti rugi tersebut sebagai hukuman bagi si pelaku. Ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan pada kasus-kasus kesengajaan yang berat atau sadis. Misalnya diterapkan pada kasus penganiayaan berat atas seseorang tanpa rasa kemanusiaan. [5]

  • Ganti Rugi Aktual
    Merupakan ganti rugi terhadap kerugian yang benar-benar telah dialami secara nyata. Misalnya, biaya rumah sakit dan dokter kerena harus berobat. Ganti rugi yang aktual merupakan ganti rugi yang paling umum dan gampang diterima oleh hukum, baik dalam hal perbuatan melawan hukum maupun dalam hal wanprestasi kontrak. [6]

  • Ganti Rugi Yang Berhubungan Dengan Tekanan Mental
    Merupakan ganti rugi yang biasanya berupa pemberian sejumlah uang yang diberikan kepada korban dari perbuatan melawan hukum disebabkan korban telah menderita tekanan mental, ganti rugi jenis ini juga disebut dengan gantti rugi ’immateril’.

  • Ganti Rugi Untuk Kerugian Yang Akan Datang
    Ganti rugi ini haruslah terhadap kerugian yang akan datang, yang dapat dibayangkan yang wajar dan secara nyata akan terjadi, jadi bukan kerugian yang Cuma dikhayalkan atau dikarang-karang .

Bila ganti rugi karena perbuatan melawan hukum berlakunya lebih keras sedangkan ganti rugi karena kontrak lebih lembut itu adalah salah satu ciri dari hukum dijaman modern. Sebab, di dalam dunia yang telah berperadapan tinggi, maka seseorang harus selalu bersikap waspada untuk tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Karena itu bagi pelaku perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, haruslah mendapatkan hukuman yang setimpal dalam bentuk ganti rugi.

Ganti Rugi Menurut KUH Perdata

Memang pada pasal 1365-1380 diatur mengenai ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, namun tidak dirinci benar ketentuan tentang ganti rugi yang harus dibayarkan karena perbuatan melawan hukum. Apakah ganti rugi karena perbuatan melawan hukum dapat menggunakan konsep ganti rugi karena wanprestasi, yang meliputi biaya, rugi dan bunga, atau ada pertimbangan lain untuk menetukan rincian pemberian ganti rugi karena perbuatan melawan hukum ini. Pasal 1371 ayat 2 KUH Perdata memberikan sedikit pedoman untuk itu dengan menyebutkan “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan“

Pedoman selanjutnya dapat ditemukan dalam pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan

“Dalam menilai satu dan lain, hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan, dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan“.

Dalam pasal 1365 KUH Perdata menamakan kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum sebagai “scade“ (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh pasal 1246 KUH Perdata dinamakan “Konsten, scaden en interessen“ (biaya kerugian dan bunga). Apabila dilihat bunyi pasal 580 ke-7 Reglemen Burgerlijk Rechtvordering (Undang-undang tentang acara perdata bagi Raad Van Justitie dulu), yang juga memakai istilah *“konsten, scaden en interessen“*untuk menyebutkan kerugian akibat perbuatan melawan hukum (pidana), maka dapat dianggap, bahwa pembuat BW sebetulnya tidak membedakan kerugian akibat perbatan melawan hukum dengan kerugian akibat wanprestasi. Keduanya meliputi juga ketiadaan penerimaan suatu keuntungan yang mula-mula diharapkan oleh si korban (winstderving) sebagaimana diatur dalam pasal 1246 KUH Perdata.[7]

Menurut Djaja S Meliala, KUH Perdata tidak mengatur tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melawan hukum, sedang pasal 1243 KUH Perdata memuat ketentuan tentang ganti kerugian karena wanprestasi.

Maka menurut jurisprudensi, ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.[8]

Moegni Djojodirdjo menyatakan bahwa penentuan ganti kerugian berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata menunjukkan segi-segi persamaan dengan penentuan ganti kerugian karna wanprestasi, tetapi juga dalam beberapa hal berbeda. Karena KUH Perdata tidak memuat ketentuan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka konsep ganti kerugian karena wanprestasi dapat juga diterapkan dalam ketentuan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.[9]

Pitlo menegaskan bahwa biasanya dalam menentukan besarnya kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diterapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1243 KUH Perdata, melainkan paling tinggi ketentuan dalam pasal 1243 KUH Perdata tersebut secara analogis. Oleh karena itu Rosa Agustina berpendapat bahwa dalam pasal 1247 dan pasal 1250 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan untuk perbuatan melawan hukum karena: [10]

Pasal 1247 KUH Perdata mengenai “perbuatan perikatan“ yang berarti, bahwa perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedangkan perbuatan melawan hukum tidaklah merupakan perikatan yang lahir dari persetujuan.

Pasal 1250 KUH Perdata membebankan pembayaran bunga atau penggantian biaya, rugi dan bunga dalam hal terjadi kelambatan pembayaran sejumlah uang, sedang yang dialami karena perbuatan melawan hukum bukan disebabkan karena tidak dilakukan pembayaran uang tepat pada waktunya.

Pendapat yang dikemukakan oleh Pitlo dan Rosa Agustina lebih dapat diterima, karena pasal 1247 KUH Perdata mengisyaratkan adanya suatu perjanjian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kalimat bahwa si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata, yang telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan. Seperti yang dikemukakan Rosa Agustina dari pasal Ini mencerminkan adanya suatu “perbuatan perikatan“, sedangkan perbuatan melawan hukum lahir dari pelanggaran terhadap perikatan yang lahir karna undang-undang.

Menurut teori klasik ganti kerugian karena wanprestasi yang dijadikan acuan adalah keadaan di mana seandainya perjanjian dilaksanakan, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang dijadikan acuan adalah sebiasa mungkin mengembalikan pihak yang dirugikan kepada keadaan sebelum perbuatan melawan hukum terjadi. Sehingga pada wanprestasi ganti rugi yang dapat dituntut dapat juga termasuk ganti rugi terhadap keuntungan yang diharapkan seandainya perjanjian terlaksana, yang mana besarnya kerugian sudah bisa diduga dan dihitung sebelumnya, sedangkan dalam ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, yang dapat dituntut hanyalah ganti rugi yang nyata diderita oleh pihak yang dirugikan (reliance loss). Teori klasik ini tidak sepenuhnya berlaku mutlak meskipun masih relevan digunakan.[11]

Dengan berlakunya teori analogi terhadap ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, maka pada umumnya dianut pendapat bahwa ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum selain harus mengganti kerugian yang ditimbulkan juga harus membayar ganti rugi akibat keuntungan yang dapat diharapkan diterima (winstderving). [12] Yang perlu diperhatikan apakah kerugian atas kehilangan keuntungan yang diharapkan memang sudah dapat diduga oleh Tergugat dan merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.[13]

Penggugat yang mendasari gugatannya pada pasal 1365 KUH Perdata sekali-kali tidak bisa mengharapkan bahwa besarnya kerugian akan ditentukan oleh undang-undang yang telah menjadi yurisprudensi tetap. Mahkamah Agung Indonesia dalam putusan R. Soegijono v. Walikota Kepala Daerah Tingkat II Kota Madya Blitar No. 610K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970, memuat pertimbangan antara lain sebagai berikut:

“Meskipun tuntutan ganti kerugian jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat mutlak menuntut sejumlah itu, hakim berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus dibayar, hal ini tidak melanggar pasal 178 (3) HIR (ex aeque et bono).“

Bahwa hakim berwenang untuk menentukan berapa sepantasnya harus dibayar ganti kerugian, sekalipun penggugat menuntut ganti kerugian dalam jumlah yang tak pantas.

Oleh karena itu, dalam hal KUH Perdata tidak dengan tegas atau bahkan tidak mengatur secara rinci tentang ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi, berdasarkan pedoman beberapa pasal dalam KUH Perdata sendiri dan pertimbangan hakim dalam jurisprudensi di atas, maka aturan yang dipakai untuk ganti kerugian ini adalah, dengan secara analogis mempergunakan peraturan ganti kerugian akibat wanprestasi yang diatur dalam pasal 1243-1252 KUH Perdata, disamping itu pemulihan kembali ke dalam keadaan semula.[14] Gugatan pengganti kerugian dalam perbuatan melawan hukum dapat berupa: [15]

  • uang dan dapat dengan uang pemaksa

  • pemulihan pada keadaan semula

  • larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa)

  • dapat minta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah perbuatan melawan hukum

jika dalam ganti kerugian karena wanprestasi, biasanya besarnya kerugian telah terlebih dahulu ditentukan besar dan ketentuannya dalam perjanjian, sedangkan dalam hal ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan besarnya ganti rugi tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh pihak penggugat, bahkan telah menjadi jurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung Indonesia bahwa hakim dalam menentukan besarnya ganti kerugian harus menetapkan menurut keadilan. Walaupun hal ini sangat tergantung pada penilaian subjektif hakim yang menangani. Adakalanya untuk kepentingan penetapan besarnya ganti kerugian terlebih dahulu harus meminta seorang ahli untuk melakukan taksasi tentang besarnya kerugian. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tersebut disebut biaya-biaya expertise, yang harus juga diganti oleh pelaku. Lebih sukar adalah untuk menetapkan besarnya gederfdewinst (keuntungan yang diharapkan dapat diterima) maka karenanya dalam memperhitungkan gederfdewinst orang selalu memperhitungkan secara ex aequo ex bono (naar redelijkheid en billijkheid atau menurut kelayakan dan kewajaran). Demikian pula kerugian idiil selalu akan diperhitungkan ex aequo ex bono. [16]

Namun kemungkinan menerapkan ex aequo ex bono tersebut tidak berarti memberi kewenangan pada hakim untuk mengurangi pembayaran ganti rugi berdasarkan keadaan pribadi para pihak, juga harus diusahakan memberi ganti rugi yang betul-betul diderita. Di Belanda dalam beberapa putusan Hoge Raad, telah merumuskan bahwa penetapan kerugian harus dilakukan berdasarkan ukuran objektif. Dalam peradilan di Belanda dapat dijumpai putusan di mana diterapkan apa yang dinamakan perhitungan kerugian secara abstrak atau objektif yang berlawanan dengan perhitungan kerugian secara kongkrit atau subjektif. Dalam menerapkan metode abstrak, maka hakim tidak semata-mata mempertimbangkan hal-hal khusus dalam peristiwa yang bersangkutan dengan keadaan subjektif dari yang dirugikan. Melainkan hakim meneliti berapa pada umumnya kerugian dari seorang kreditur yang berada dalam posisi yang sama seperti penggugat dalam perkara yang bersangkutan. Kerugian ditentukan secara objektif menurut kekayaan dari orang terhadap siapa telah dilakukan wanprestasi. KUH Perdata sendiri mengenai besarnya ganti rugi akibat Perbuatan Melawan Hukum mengaturnya dalam pasal 1371 (2) yang menyatakan bahwa ganti rugi dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. [17]

Sekalipun dalam prinsipnya semua kerugian yang timbul harus diberi ganti, namun jelaslah kiranya bahwa pasal 1365 KUH Perdata tidak mencakup kerugian yang diderita karena suatu kepentingan yang tidak sah. Umpamanya, kerusakan yang diderita pada mobil selundupan, maka pemilik mobil tersebut akan berhak penggantian atas kerugian materiilnya, akan tetapi tidak berhak menuntut keuntungan yang diharapkan akan diterima.[18]

Besarnya kerugian ditetapkan dengan penafsiran, dimana diusahakan agar si penderita sebanyak mungkin dikembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Mengenai bunyi undang-undang yang mengatakan bahwa hakim dalam menentukan besarnya ganti kerugian tidak boleh melebihi dari apa yang dituntut oleh penggugat,[19] akan menimbulkan permasalahan jika menurut hakim apa yang dituntut oleh penggugat dianggap lebih kecil dan belum memenuhi rasa keadilan. Jika demikian adanya, hendaknya hakim memutus ganti rugi masih dalam apa yang dituntut oleh penggugat. Hal ini untuk menghindari upaya hukum lain yang bisa saja menganggap putusan hakim yang melebihi tuntutan penggugat adalah tidak benar, dan akhirnya putusan yang semula ingin memberikan rasa adil pada suatu perkara, malah dibatalkan dan penggugat yang mengharapkan ganti rugi untuk menuntut keadilan, tidak mendapatkan keinginan mereka karena alasan legisme semata.

Disamping itu, dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum, khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh orang, maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur-unsur sebagai berikut:

  • Kerugian secara ekonomis

  • Luka atau cacat pada tubuh korban

  • Adanya rasa sakit secara fisik

  • Sakit secara mental, seperti stres, sangat sedih, rasa bermusuhan yang berlebihan, cemas dan berbagai gangguan mental/jiwa lain-lainnya.

Referensi:
[1] Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Cet. 2. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. hal.134
[2] Prodjodikoro, Wirjono. Perbuatan Melanggar Hukum. Cet 9. Bandung: Sumur Bandung, 1993. hal. 136.
[3] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Op., Cit., hal. 133-136.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal. 144
[6] Ibid.
[7] Rosa Agustina, Op., Cit., hal.71.
[8] Djaja S. Meiliana, SH., MH., Op,. Cit., hal. 115.
[9] Rosa Agustina, Op., Cit., hal.72.
[10] Ibid.
[11] Suharnoko, Op., Cit., hal. 136.
[12] Ibid., hal. 116.
[13] Ibid., hal. 136.
[14] Rosa Agustina, Ibid., hal. 85.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hal. 78.
[17] Ibid., hal. 224-225.
[18] Ibid,. hal. 79.
[19] Ibid., hal. 91