Apa yang dimaksud dengan Akhlak Tercela atau Akhlak Mazhmumah ?

Akhlak

Akhlak adalah sifat yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangan pikiran terlebih dahulu.

Apa yang dimaksud dengan Akhlak Tercela atau Akhlak Mazhmumah ?

Menurut Imam al-Ghazali, akhlak yang tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri yang tentu saja bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.

Al-Ghazali menerangkan akal yang mendorong manusia melakukan perbuatan tercela (maksiat), diantaranya :

  1. Dunia dan isinya, yaitu berbagai hal yang bersifat material (harta, kedudukan) yang ingin dimiliki manusia sebagai kebutuhan dalam melangsungkan hidupnya agar bahagia.

  2. Manusia. Selain mendatangkan kebaikan, manusia dapat mengakibatkan keburukan, seperti istri, anak, karena kecintaan kepada mereka misalnya, sampai bisa melalaikan manusia dari kewajibannya kepada Allah SWT dan terhadap sesama.

  3. Setan (iblis). Setan adalah musuh manusia yang paling nyata, ia menggoda manusia melalui batinnya untuk berbuat jahat dan menjauhi Tuhan.

  4. Nafsu. Nafsu adakalanya baik (muthmainnah), dan adakalanya buruk (amarah), akan tetapi nafsu cenderung mengarah kepada keburukan.39

Pada dasarnya sifat dan perbuatan tercela dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Maksiat lahir
    Maksiat berasal dari bahasa Arab, yaitu ma’siyah yang artinya pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari’at Islam, dan pelanggaran tersebut dilakukan dengan meninggalkan alat-alat lahiriyah.

    Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu :

    • Maksiat lisan, seperti berkata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencacimaki atau mengucapkan kata laknat, baik kepada manusia maupun binatang, menghina, menertawakan, merendahkan orang lain, berdusta, dan lain- lain.

    • Maksiat telinga, seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang adu domba, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah.

    • Maksiat mata, seperti melihat aurat wanita yang hikan mahramnya, melihat aurat laki-laki yang bukan mahramnya, melihat orang lain dengan gaya menghina, melihat kemungkatan tanpa beramar ma’ruf nahi munkar.
      d) Maksiat tangan, seperti mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan dan lain-lain.

  2. Maksiat batin
    Maksiat batin berasal dari dalam hati manusia atau digerakkan oleh tabiat hati. Sedangkan hati memiliki sifat yang tidak tetap, berbolak balik, berubah-ubah, sesuai dengan keadaan atau sesuatu yang mempengaruhinya. Hati terkadang baik, simpati dan kasih sayang, tetapi di sisi lainnya hati terkadang jahat, pemdendam, dan sebagainya.

    Maksiat batin ini lebih berbahaya dibandingkan dengan maksiat lahir, karena tidak terlihat dan lebih sukar untuk dihilangkan.

    Beberapa contoh penyakit batin (akhlak tercela) adalah :

    • Takabbur (al-Kibru),
      Yaitu suatu sikap yang menyombongkan diri sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah di alam ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang apa adanya. Takabbur juga berarti merasa atau mengakui dirinya besar, tinggi atau mulia melebihi orang lain. Perbuatan takabbur atau menjunjung diri akan membawa akibat yang sangat merugikan, mengurangi kedudukan dan martabat di mata umat manusia, serta menjadi penyebab mendapat murka Allah SWT.

      Allah SWT berfirman,

      Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu”. (QS. al-Isra’ : 37-38)

    • Syirik yaitu suatu sikap yang menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya, dengan cara menganggapnya bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekuasaan-Nya, atau juga berarti kepercayaan terhadap suatu benda yang mempunyai kekuatan tertentu. Syirik termasuk perbuatan yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan pelakunya tidak diampuni dosa- dosanya.

      Allah berfirman,

      “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang menyekutukan Allah maka ia telah berbuat dosa yang sangat besar”. (QS. An-Nisa’ : 48)

    • Nifaq, yaitu suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya. Pelaku nifaq disebut munafik. Sebab sifat nifaq inilah, si pelaku akan melakukan perbuatan tercela, diantaranya yaitu berbohong, ingkar janji, khianat, dan lain-lain. Sesuai dengan Hadits Nabi SAW :

      “Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda : tanda-tanda orang munafik ada tiga : (yaitu) apabila berbicara ia bohong, apabila ia berjanji ia mengingkari, dan apabila diserahi amanat, ia berkhianat”. (HR. al-Bukhari)

    • Iri hati atau dengki, yaitu sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan agar kenikmatan dan kebahagiaan orang lain bisa hilang. Sifat ini sangat merugikan manusia dalam beragama dan bermasyarakat sebab dapat menjerumus pada sifat rakus, egois, serakah atau tamak, suka mengancam, pendendam, dan sebagainya. Sesuai dengan firman Allah,

      “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.
      An-Nisa’ : 32)

    • Marah, yaitu kondisi emosi seseorang yang tidak dapat ditahan oleh kesadarannya sehingga menonjolkan sikap dan periaku yang tidak menyenangkan orang lain. Rasulullah SAW bersabda :

      “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, wasiatkanlah (sesuatu) kepadaku. Nabi bersabda : janganlah engkau selalu marah. Perkataan ini selalu diulang-ulanginya. Lalu beliau bersabda : janganlah engkau marah”. (HR. al-Bukhari)


Referensi
  • Asmaran As., Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1994).
  • Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta : Kalam Mulia, 1991).
  • Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia, (Surabaya : Bina Ilmu, tt).
  • A. Mudjab Mahalli, Pembinaan Moral Di Mata al-Ghazali, (Yogyakarta : BPFE, 1984).
  • M. Quraish Shihab, Al-Qur’an Dan Maknanya, (Tangerang : Lentera Hati, 2010).
  • Muhammad Ibn Isma’il Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, Al-Jami’ Al-Shahih al-Mukhtasar Juz 1 , (Beirut : Dar Ibn Katsir, 1987).