Apa yang anda ketahui tentang ikan terbang ?

Ikan terbang berasal dari famili Exocoitidae. Ikan terbang yang sering ditemui di wilayah perairan Indonesia memiliki nama ilmiah Cypselurus oxycephalus yang juga merupakan nama lain Hirundichtys oxycephalus. Ikan terbang dapat ditemui di perairan tropis dan subtropis di samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.

Morfologi Ikan Terbang

Ikan terbang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil dengan panjang maksimal 17 cm. Warna sisik kebiruan dengan warna gradasi putih pada derah perut. Ciri khas ikan terbang memiliki sirip dada yang panjang dan lebar sehingga memudahkan akselerasi saat di udara dengan mengepakkan kedua sirip-“sayap”nya. Sirip ikan terbang berbentuk simetris berjumlah satu pasang sehingga disebut monoplanes, sedangkan yang berjumlah dua pasang disebut biplanes. Ciri morfologi lain dari ikan terbang adalah bentuk ekor seperti huruf ‘V’ yang berguna sebagai landasan saat terbang maupun kembali ke permukaan air.

Apa yang anda ketahui tentang ikan terbang ?

Ikan terbang dikategorikan sebagai ikan pelagis ekonomis penting, karena selain menjadi ikan konsumsi, juga telurnya merupakan komoditas ekspor. Di perairan Indonesia, ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus banyak ditemukan di perairan Selat Malaka, perairan Maluku, Nusa Tenggara, Selat Makassar, dan Papua. Ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus dikenal dengan beberapa nama lokal, seperti tuing-tuing (Bugis), torani (Makassar), atau tourani (Mandar).

Propinsi Sulawesi Selatan merupakan pengekspor tunggal telur ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus, sehingga menjadikan komoditi ini sebagai salah satu primadona dari sektor perikanan di samping produksi udang. Sejak tahun 1969 sudah dimulai ekspor telur ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus dari Sulawesi ke Jepang, dan sampai dengan saat ini telur tersebut makin populer dan dianggap salah satu makanan istimewa. Produksi telur ikan terbang Hirundicthys oxycephalus dan Cheilopogon cyanopterus pada periode tahun 1977 sampai dengan 2000 berkisar antara 72,2 sampai dengan 87,5 ton, dengan produksi rata-rata 308,1 ton per tahun. Pengumpulan telur semakin meningkat sehubungan dengan permintaan yang semakin tinggi, mengakibatkan produksi telur yang cenderung menurun, dan juga produksi ikan.

Studi mengenai aspek biologi perikanan ikan terbang di Indonesia, khususnya di Selat Makassar, terus diperlukan untuk melengkapi beberapa data dan nformasi terdahulu, dengan tujuan untuk merancang strategi pengelolaan sumber daya perikanan ikan terbang yang lestari. Salah satu kajian yang perlu diketahui adalah kebiasaan makanan dari ikan terbang, mengingat ditemukan ada 11 jenis ikan terbang di Selat Makassar. Ikan membutuhkan makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Keberadaan suatu jenis ikan di alam memiliki hubungan yang sangat erat dengan keberadaan makanan. Para peneliti lain menambahkan bahwa ketersediaan makanan merupakan faktor yang menentukan jumlah populasi, pertumbuhan, reproduksi, dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan. Untuk mengamati hal tersebut, maka para ahli melakukan studi yang berhubungan dengan makanan ikan. Studi tersebut sering disebut sebagai studi kebiasaan makan.

Penangkapan ikan dilakukan dengan jaring insang hanyut (drift gillnet), sedangkan bubu apung hanyut (pakkaja) biasanya dioperasikan untuk mengumpulkan telurnya. Akhir-akhir ini pengoperasian pakkaja diganti dengan rumpon. Musim pemijahanhanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu selama musim timur (April-September) dengan cara meletakan telurnya pada alga laut jenis Sargassum dan benda-benda terapung lainny a. Anakan ikan akan menetas bersamaan dengan adany a peristiwa upwelling pada musim timur di Sulawesi bagian selatan dan sebagian Laut Rores serta Laut Sulawesi. Umumnya ikan terbang dapat melayang dengan arah yang tidak menentu, namun peneliti menjelaskan bahwa kebanyakan pola terbangnya menentang arah angin atau membentuk sudut dengan arah angin. Sejalan dengan adanyaeksploitasi yang cukup menyolok terhadap perikanan ikan terbang, terutama telurnya, maka dikhawatirkan dalam waktu mendatang akan terjadi penurunan stok ikan terbang. Kecenderungan ini sudah mulai teridentifikasi yaitu dengan semakin berkurang jumlah produksi telur, dan berkurangnya panjang rata-rata dari ikan terbang yang tertangkap.

Perubahan dalam nilai produksi ini, sejalan dengan perubahan mendasar yang terjadi dalam aspek identifikasi jenis dan penamaan dari ikan terbang (PARIN, 1999). Tulisan ini bertujuan memberikan informasi mengenai identifikasi jenis dan penamaan ikan terbang marga Cypselurus, yang di abad 20 sering dianggap sebagai jenis yang sangat umum dijumpai di perairan Indonesia, namun ternyata dalam publikasi FAO yang terakhir, sebagian besar jenis dalam marga ini telah dipindahkan ke dalam marga Cheilopogon.

  • KARAKTER MORFOLOGI Cypselurus VS Cheilopogon

    Karakter morfologi kedua marga ikan sangat mirip yaitu:

    1. Sirip dada sangat panjang mencapai bagian belakang dari pangkal sirip dubur atau hampir mencapai pangkal sirip ekor.

    2. Tidak terdapat gurat sisik yang merupakan percabangan dari sirip dada.

    3. Rahang bagian atas tidak ‘protrusible’.

    4. Posisi sirip dubur ada di belakang sirip dor sal sedikitnya 3 jari-jari sirip.

    5. Jari-jari sirip punggung lebih banyak 2-5 buah dari jari-jari pada sirip dubur.

    6. Jari-jari pertama atau kedua dari sirip dada tidak bercabang. Namun perbedaan karakter morfologi kedua marga ini yaitu Cypselurus spp memiliki rahang bawah sedikit lebih pendek dari rahang atas, sedangkan Cheilopogon memiliki rahang atas dan bawah yang relatif sama panjang atau rahang bawah sedikit lebih panjang dari rahang atas

  • PERMASALAHAN IDENTIFIKASI

    Sejak tahun 1922, WEBER & BEAUFORT sudah memberikan kunci identifikasi ikan terbang. Kemudian SAANIN (1984) dan HUTOMO etal. (1985) juga memberikan kunci identifikasi untuk kelompok ikan ini, namun semua kunci identifikasi ini tidak tercatat adanya marga Cheilopogon. Bahkan dalam kunci identifikasi yang dibuat oleh AIZAWA (2002) untuk kawasan perairan Jepang juga tidak memasukkan marga Cheilopogon. Semua jenis ikan terbang di perairan Indo Pasifik Barat, termasuk Indonesia, umumnya dimasukkan ke dalam marga Cypselurus. Baru pada tahun 1999, PARIN dalam terbitan berseri FAO untuk identifikasi ikan terbang, memasukkan marga Cheilopogon lengkap dengan perbedaan mendasar dari marga Cypselurus. Keberadaan marga Cheilopogon ini kemudian diperkuat dengan informasi ikan terbang menurut KIMURA &MATSUURA (2003), dan FishBase 2004 (FROESE & PAULY 2004). Kejadian identifikasi dan penamaan jenis ikan terbang ini sangat menarik, karena hampir hasil identifikasi terdahulu yang ada di berbagai koleksi rujukan di Indonesia tidak mengenal adanya marga Cheilopogon. Hal ini lebih disebabkan pada saat itu belum ada pemisahan antara marga Cypselurus dan Cheilopogon, sehingga dapat dipahami bahwa kejadian ini bukan karena kesalahan identifikasi. Hal ini lebih disebabkan pada keinginan untuk memisahkanjumlah jenis yang terlalu banyak dalam satu marga, dalam kasus ini adalah Cypselurus. Dengan demikian hasil identifikasi sebelum tahun 2000 dapat dibenarkan selama masih mengacu pada kunci identifikasi ikan terbang yang tersedia