Apa Saja Cara dalam Menentukan Usia Naskah Kuno?


Tidak semua filolog bisa dengan mudah menentukan patokan usia naskah yang sedang diteliti. Namun, ada beberapa cara yang bisa digunakan ketika akan melakukan penelitian terhadap naskah kuno.

Apa saja cara-cara dalam menentukan usia naskah?

Menentukan saat penulisan sebuah naskah memerlukan kejelian dan pemahaman budaya Jawa sebab sebagian karya sastra Jawa klasik dalam bentuk naskah sebagian besar tidak mencantumkan saat penulisan. Bila terdapat keterangan tentang naskah, hal itu kadang-kadang dinyatakan secara tidak jelas. Keterangan tentang saat penulisan sebagian dinyatakan dalam bentuk candrasangkala, yaitu penulisan angka tahun yang dikemukakan dalam bentuk kalimat, frasa, atau gambar (Padmasukotjo, 1953). Untuk mengetahui angka tahun tersebut diperlukan pemahaman tentang nilai-pada kata-kata yang dirangkai dalam candrasangkala tersebut. Setiap kata memiliki makna angka. Pemaknaan itu kadang-kadang hanya berdasarkan penafsiran.

Penentuan penulis dan usia naskah merupakan bagian dari penelitian filologi, yaitu pada tahapan deskripsi atau identifikasi naskah. Naskah harus dideskripsikan sebab dalam naskahnaskah Nusantara tidak terdapat identifikasi atau deskripsi tentang karya tersebut. Identifikasi sangat penting sebab di dalam naskah memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat pada zamannya, meliputi pengalaman, ideologi, imajinasi, pandangan hidup pengarang. dan berbagai peristiwa di sekitar pengarang. Dengan mengetahui usia naskah, peneliti dapat mengetahui apa yang tercermin dalam karya itu dan memanfaatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal itu didasarkan pada anggapan bahwa karya sastra merupakan kristalisasi dan dokumentasi masyarakat pendukungnya, melalui pangalaman dan berbagai peristiwa di sekitar pengarang.

Dalam penelitian filologi, identifikasi naskah dapat diketahui, antara lain melalui judul atau nama naskah, pengarang (penulis atau penyalin), saat karya itu ditulis, asalusul atau pemilik (lembaga pemerintah, yayasan atau koleksi pribadi), keadaan, huruf yang digunakan untuk menulis, bentuk (prosa atau puisi), dan bahasa yang digunakan dalam sebuah naskah.

Baried menyatakan bahwa untuk menentukan usia naskah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interne evidentie dan externe evidentie. Interne evidentie atau evidensi internal berarti keterangan saat penulisan terdapat di dalam naskah yang diteliti. Keterangan itu biasanya terdapat pada awal penulisan atau manggala dan pada akhir karya atau epilog atau kolofon. Cara tersebut digunakan untuk menentukan saat paling awal karya itu ditulis. Adapun evidensi eksternal menentukan batas paling akhir karya itu ditulis.

Dalam kenyataannya tidak semua pengarang memberikan keterangan tentang naskah dalam karyanya. Dalam beberapa naskah terdapat keterangan tentang saat penulisan dan nama penulis, terutama naskah keraton. Misalnya, naskah Babad Bedhahing Mangir, naskah Babad Madura, naskah Sri Sedana. Dari naskah-naskah tersebut dapat diketahui bahwa pernyataan dari penulis tentang saat penulisan secara lengkap dan jelas.

Evidensi eksternal adalah keterangan tentang naskah yang terdapat di luar naskah. Keterangan itu biasanya berupa-

  1. Penyebutan karya sastra dalam karya lain,
  2. Pemahatan cerita dalam relief candi,
  3. Perbandingan bahasa dan keterangan penyalin yang terdapat di luar teks, dan
  4. Kodikologi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan naskah, terutama pada keadaan naskah dan keterangan dari penyalin.

Internal evident

Penentuan usia naskah berdasarkan internal evident adalah penentuan yang menggunakan bukti yang terdapat di dalam naskah. Hal ini berkaitan erat dengan pengarang. Banyak pengarang yang tidak membubuhkan saat penulisan atau nama dalam karyanya, tetapi ada juga yang menjelaskan pengarang dan saat penulisan pada bagian awal, atau yang disebut manggala. Adapun yang terdapat pada bagian akhir disebut kolofon atau epilog.

Manggala dan epilog atau kolofon merupakan bagian yang sangat penting bagi sebuah karya sastra klasik. Bagian tersebut memuat keterangan tentang naskah. Kedua bagian itu akan dibahas dalam subbab ini. Manggala adalah bait-bait pembuka atau pendahuluan yang memberika keterangan tentang naskah. Keterangan itu biasanya menyangkut nama pengarang atau penulis, usia naskah, pemujaan kepada raja atau dewa yang dianggap sebagai pelindung, dan lain-lain. Manggala tentang penulis dan saat penulis karya sastra tersebut. Woyowasito (dalam Swastika, 1980: 65) menyatakan bahwa manggala ialah pendahuluan, bagian, ikat pinggang, atau pemimpin. Sejalan dengan pendapat tersebut, posisi manggala selalu berada di depan.

Dalam karya sastra, arti manggala ialah istilah yang ada dalam parwa-parwa atau kakawin dalam sastra Jawa Kuna yang isinya melukiskan pemujaan terhadap raja atau dewa. Manggala dalam sastra Jawa Kuna adalah pemujaan terhadap dewa keindahan yang bersemayam di hati atau di atas bunga teratai, di laut, di gunung, dan sebagainya. Kadang-kadang melukiskan dewa yang bersemayam dalam segala sesuatu yang dipakai dalam membuat karya sastra, misalnya daun yang ditulisi dan kata-kata yang digunakan untuk menggubah karya sastra. Zoetmulder menyatakan bahwa kata-kata yang digunakan dalam manggala adalah alat untuk memberikan pemujaan atau bentuk puji-pujian sehingga pengarang dapat mempersatukan diri dengan dewa keindahan.

1. Penggunaan Manggala

Penulisan manggala dalam karya sastra, diawali sejak periode sastra Jawa Kuna. Setiap karya yang berbentuk kakawin, terdapat manggala. Pada beberapa karya sastra Jawa Kuna terdapat manggala yang menyajikan keterangan tentang naskah yang meliputi penulis dan saat penulisan. Namun, satusatunya manggala yang memuat penulis dan saat penulisan hanya Kakawin Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, yaitu karya yang menceritakan perang antara Pandawa dan Korawa. Konon, cerita itu digubah atas perintah Prabu Jaya Bhaya di Kediri. Kala itu Mpu Sedah mendapatkan tugas yang sangat mulia. Ia dipercaya menggubah karya yang jalan ceritanya disesuaikan dengan perjalanan hidup sang Raja.

Berikut ini adalah kutipan manggala dalam karya tersebut.

Nâhan don Mpu sedah makirtya çaka kâla ri sangakuda suddha candrama, Sang saksadharimurtti yan katiga nitya maka phalana keçaning musuh, Sang lwir lek pratipada çukla anguripi wijil nireng ripu ring prang darppa paçuprabhu pamanira hyunika dungulaning pragmuka.

Menurut Zoetmulder, manggala itu ditujukan kepada prabu Jayabhaya dilengkapi dengan sakakala (chronogram, penyebutan tahun Saka), sangakuda suddha candrama. Kakawin yang mengisahkan tentang peperangan antara Pandawa dengan Korawa adalah karya sastra pertama yang memuat candrasangaka. Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh itu ditulis pada pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri. Alur cerita disesuaikan dengan perjalanan hidup Prabu Jayabhaya.

Menurut Zoetmulder (1983:323), manggala itu ditujukan kepada prabu Jayabhaya dilengkapi dengan sakakala (chronogram, penyebutan tahun Saka), sangakuda suddha candrama. Kakawin yang mengisahkan tentang peperangan antara Pandawa dengan Korawa adalah karya sastra pertama yang memuat candrasangaka. Karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh itu ditulis pada pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri. Alur cerita disesuaikan dengan perjalanan hidup Prabu Jayabhaya.

Candrasangkala adalah penulisan angka tahun dalam bentuk frasa atau kalimat yang harus dibaca dari belakang. Untuk memaknai candrasangkala menjadi angka tahun dibutuhkan pemaknaan kata-kata yang memiliki nilai angka. Walaupun kadang-kadang nilai angka itu hanya berdasarkan penafsiran, ada patokan yang dianggap sesuai. Misalnya, nilai angka 1 adalah hal-hal yang sifatnya tunggal. Sebagai contoh, angka 1 atau eka, Tuhan, bumi, bulan, orang, dan lain-lain. Nilai angka 2, semua hal yang jumlahnya 2. Selain angka 2, anggota badan yang jumlahnya 2, sampai dengan angka 0 atau edas. Misalnya angkasa, hilang, sirna, suci atau suddha, bersih, dan sebagainya.

Waktu penulisan Kakawin Bharatayudha dapat diketahui melalui candrasangkala berikut. Sanga kuda suddha candrama. Frasa itu dapat dimaknai sanga = 9, kuda = 7, suddha = 0, candra = 1. Dengan demikian, angka tahun candrasangkala tersebut adalah 1079 Caka, dalam hitungan tahun Masehi ditambah 78 sehingga menjadi 1157. Untuk membuktikan kecocokan angka tahun itu harus dibandingkan dengan data sejarah. Betulkah tahun itu masuk dalam pemerintahan Prabu Jayabhaya?.

Penggunaan candrasangkala yang diawali oleh Mpu Sedah itu, dalam sastra Jawa baru Klasik, dimanfaatkan secara intensif, terutama oleh pengarang atau pujangga keraton.

2. Penggunaan Kolofon

Di atas sudah dijelaskan, penelusuran waktu penulisan sebuah karya sastra dengan evidensi internal digunakan manggala dan kolofon. Bila manggala merupakan keterangan yang terdapat pada awal naskah, maka kolofon adalah bait-bait penutup yang terdapat pada akhir naskah. Berikut ini adalah beberapa contoh karya yang memberikan keterangan tentang naskah dalam kolofon.

Serat Salokatama
itih panawunging ruwiyadi,
ri Soma katongton,
kaping sapta Sapar wimbaning lèk,
tabuh astha Dal sangkalèng warsa,
swara trusing ardi,
risang maha prabu.

Terjemahan:
Selasai penulisan tuntunan
pada hari Senin (Soma) tampak
tanggal 7 Sapar nama bulan itu
pukul delapan, tahun Dal dengan candrasankala
swara trusing ardi
risang maha prabu

Serat Salokatama digubah dalam bentuk tembang Mijil yang terdiri atas 31 bait. Karya itu digubah oleh Padmasusastra pada hari Senin (Soma), pukul 8 (tabuh asta) tanggal 7 Sapar tahun Dal, 1797. Angka tahun dinyatakan dengan candrasangkala, swara trusing ardi ri sang maha prabu (swara : 7, trus: 9, ardi : 7 dan ri sang maha prabu: 1). Bila dikonfirmasi ke dalam tahun Masehi, 1797+71 = 1868 M.

Eksternal Evidentie

Eksterne evidentie artinya pernyataan usia naskah yang berasal dari luar teks. Dalam teori filologi, penentuan saat penulisan yang terdapat diluar teks meliputi:

  1. Penyebutan karya sastra di dalam karya lain. Dengan asumsi bila karya itu disebut oleh pengarang, maka karya itu sudah ada ketika karya yang menyebut itu ditulis. Misalnya: dalam sastra Jawa Kuna, Nagarakertagama karya Mpu Prapanca, menyebut nama karya Raja Kapakapa, dan Rajapatigundala.
  2. Pemahatan suatu cerita pada relief candi. Maksudnya, ketika candi itu dibangun, cerita itu sudah ada, bahkan mungkin berkembang atau terkenal. Berkaitan dengan hal tersebut, Darusuprapta (1980) menyatakan bahwa pemahatan suatu cerita dalam relief candi memiliki beberapa kemungkinan, yaitu cerita itu popular atau terkenal, mode sementara atau keharusan sebuah aliran dan kecenderunagn pribadi. Misalnya, pada Candi Penataran, dipahatkan Kresnayana, Tantri (fabel), Cerita Panji dan Sri Tanjung. Candi tersebut dibangun pada zaman Majapahit. Asumsinya, pada zaman Majapahit cerita-cerita tersebut telah berkembang di kalangan masyarakat. Cerita Ramayana, kisah cinta Rama dan Sita, dipahatkan pada candi Prambanan. Hingga kini Ramayana menjadi ikon Candi Prambanan. Bahkan, cerita tersebut dikemas dalam bentuk sendratari (Balet) Ramayana sebagai wisata budaya. Asumsi yang bisa dikemukakan adalah bahwa ketika Candi Prambanan dibangun, cerita Rama telah berkembang. Tentang mengapa karya itu dipahatkan, mungkin karena cerita itu populer, atau karena diharuskan oleh suatu aliran atau agama. Diperkirakan, karya itu ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung, zaman Mataram Kuna.
  3. Membandingkan bahasa antarkarya sastra yang diperkirakan semasa. Misalnya, penggunaan bahasa pada karya-karya pujangga dalem, kraton Surakarta. Antara Yasadipura I dan Yasadipura II sulit dibedakan karena kedua pujangga itu hidup semasa dan mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, yaitu antara ayah dan anak. Demikian juga antara Sri Pakubuwana IV dan Sri Pakubuwana VII dengan karya KGPAA Mangkunagara IV sulit dibedakan karena mereka lebih banyak menggunakan basa kedhaton –jenis bahasa Jawa yang digunakan di istana, terutama dalam penggubahan karya sastra.
  4. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra sering dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk untuk dikaitkan dengan umur karya sastra tersebut, terutama karya sastra Jawa Kuna. Swastika menyatakan bahwa puisi berbahasa Jawa Kuna atau kakawin yang tua sering menggunakan kata-kata seperti iku, rat, dudu dan lain sebagainya dengan tanda panjang. Kata-kata tersebut dapat memberikan petunjuk bahwa ia tergolong karya Jawa Kuna yang usianya lebih tua.

Berdasarkan penjelasan di atas, eksternal evidentie berfungsi untuk menentukan saat paling akhir karya itu ditulis atau post ante quem. Sebab, dalam sastra lama, khususnya sastra Jawa, penentuan umur naskah tidak selalu merujuk angka tahun, melainkan kapan karya itu ditulis.