Agus Salim : Orang Tua Besar dalam sejarah Indonesia

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti “pembela kebenaran”); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.

Pendidikan :

  • Europeesche Lagere School (ELS)
  • Hoogere Burgerschool (HBS)

Agus Salim terlahir sebagai anak ke-empat dari pasangan Soetan Mohamad Salim dan Siti Zaenab. Ayahnya, seorang Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Mashudul Haq yang berarti Pembela Kebenaran adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya saat beliau lahir. Menelusuri jejak dalam biografi Agus Salim, kita mendapati kecerdasannya sangat menonjol dibanding teman-temannya. Terlahir dari keluarga yang berada, membuat Agus Salim dapat mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda tanpa hambatan.

Pada usia 19 tahun, beliau lulus dari HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas saat ini dalam waktu 5 tahun dengan menyandang predikat lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Pada usia mudanya itu, Agus salim mampu menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang,dan Jerman.

Semangat belajar Agus Salim terus Menyala, dan berbekal sebagai lulusan terbaik dia mengajukan beasiswa kepada pemerintah Belanda untuk dapat melanjutkan sekolah Kedokteran di Belanda. Tanpa sebab yang jelas, ternyata permohonannya ditolak yang membuatnya kecewa. Disisi lain, R.A. Kartini yang hidup sejaman dengan Agus Salim, mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda untuk bisa belajar di negeri Kincir Angin tersebut. Namun,karena beliau telah menikah, yang dalam tradisi adat Jawa, tidak memperbolehkan seorang wanita yang sudah menikah jauh dari suaminya mengurungkan niat belajarnya. Mengetahui ada anak muda yang cerdas dan merupakan lulusan terbaik dari tiga kota sekaligus, maka kartini berkirim surat kepada temannya, Ny. Abendanon yang merupakan istri pejabat di negeri Belanda yang berwenang menentukan beasiswa untuk mengalihkan beasiswa kepada Agus Salim. Pengajuan pengalihan beasiswa R.A. kartini kepada Agus Salim disetujui oleh pemerintah Belanda.

Membaca biografi Agus Salim kita dapati, kalau dia orang yang memiliki kemerdekaan diri yang tinggi. Beasiswa dari pemerintah Belanda justru ditolaknya, karena Ia tahu, itu bukan murni atas prestasinya, namun karena atas permintaan seorang bangsawan bernama Kartini. Dia justru merasa tersinggung atas perlakuan yang tidak adil tersebut.

Dalam biografi Agus Salim disebutkan, pada tahun 1906 bersamaan dengan gagalnya dia melanjutkan sekolah, beliau mendapatkan tawaran kerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Beliau menerima pekerjaan tersebut dalam kurun waktu 2 tahun antara tahun 1909 sampai 1911.

Disela-sela pekerjaannya, beliau menimba ilmu lebih jauh tentang agama Islam kepada Syech Ahmad Khatib, seorang Imam di Masjidil Haram yang juga pamannya sendiri dan merupakan guru dari KH. Hasyim Asy`ari pendiri NU dan KH. Ahmad dahlan Pendiri Muhammadiyah. Selain belajar agama, beliau juga belajar mengenai ilmu diplomasi dan politik. Perpaduan ketajaman ilmu Agama, ilmu Politik, Kemampuan Bahasa asing dan kecerdasannya yang tinggi membuatnya menjadi pribadi yang disegani. Saat pulang ke tanah air, beliau langsung aktif dalam pergerakan nasional dan juga mendirikan Sekolah HIS (Hollandsche Inlandesche School.

Melanjutkan biografi Agus Salim, perjuangan politiknya diawali saat bergabung dengan Serikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Beliau sempat menjadi anggota Volksraad ( semacam DPR/MPR) dari perwakilan SI di pemerintah Hindia Belanda menggantikan seniornya HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis.

Agus Salim tidak bertahan lama dan mengalami kekecewaan atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda sebagaimana pendahulunya dan berkesimpulan berjuang dari dalam tidak efektif hingga memutuskan focus berjuang melalui SI. Pada tahun 1923 SI pecah secara ideolgi menjadi SI kiri atau SI merah yang berideologikan ke kiri yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono yang menjadi cikal bakal PKI dengan SI kanan atau SI Putih yang berhaluan ideology kanan, dimana Agus Salim tergabung didalamnya dengan Tjokroaminoto.

Agus Salim sering mendapat tuduhan sebagai mata-mata Belanda, namun ditepisnya dengan keberaniannya untuk mengkritik pemerintah Belanda melalui pidato-pidatonya. Agus Salim menjadi pimpinan puncak SI menggantikan HOS Tjokroaminoto yang wafat pada tahun 1934. Selain di SI, beliau mendirikan juga organisasi Jong Islamieten Bond dan melakukan perubahan pola pikir dari yang kaku ke Islam moderat dengan meniadakan hijab pemisah antara tempat duduk laki-laki dan perempuan pada kongres ke 2 Jong Islamieten Bond di Yogyakarta tahun 1927.

Membaca biografi Agus Salim lebih dalam kita menemukan keterlibatan beliau sebagai anggota PPKI yang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, beliau mendapat mandate sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pada Kabinet Syahrir I dan II, beliau di tunjuk menjadi Menteri Muda Luar Negeri. Begitu pula pada cabinet Hatta. Berlanjut setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh internasional, beliau ditunjuk menjadi penasihat Menteri Luar Negeri.

The Grand Old Man adalah julukan terhadap Agus Salim, karena kepiawainnya dalam berdiplomasi yang tidak tertandingi pada jamannya. Salah satu contoh, beliau sangat cerdik untuk mendapatkan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia dari Negara Jerman. Negara Jerman yang merasa keturunan bangsa Arya berlaku sombong dan menganggap rendah Negara atau orang yang tidak bisa berbahasa Jerman. Maka, saat kunjungannya sebagai Menteri Luar Negeri, dia menyusun naskah pidatonya dalam Bahasa Jerman yang sangat fasih dan memukau petinggi Jerman hingga akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Menelaah biografi Agus Salim, kita akan menemukannya sebagai sosok yang merdeka dalam berpikir dan bertindak. Beliau tidak mau terkungkung dalam batasan-batasan, termasuk mendobrak tradisi Minang yang menurutnya kolot. Walaupun seorang tokoh yang disegani dan sangat cerdas, penampilannya sangat sederhana,sering hanya menggunakan sarung dan peci.

Beliau tidak tidak memiliki rumah tetap dan selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Di tiap kota, beliau hanya menyewa rumah yang kecil dan sederhana. Dalam hal pendidikan anak, beliau mengajarnya sendiri atau home schooling. Hanya anaknya yang paling kecil yang disekolahkan secara formal. Beliau beranggapan, semua keahliannya tidak diperoleh disekolah formal, namun lebih karena belajar mandiri atau otodidak dengan learning by doing.

Beliau melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda dalam hal pendidikan dengan berujar “saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial”. Haji Agus Salim begitu akrab panggilannya di lintasan sejarah, wafat dalam usia 70 tahun tepatnya pada 4 November 1954 dan dimakamkan di TMP Kalibata. Atas segala jasa dan perjuangannya, beliau mendapat anugerah sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang tertuang dalam Keppres nomor 657 tertanggal 27 Desember 1961.

Karier politik

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

  • anggota Volksraad (1921-1924)
  • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
  • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
  • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man).

Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

[details=Referensi]biografipahlawan.com
id.wikipedia.org[/details]

Tulisan ini tentang Bapak Agus Salim dapat meng-inspirasi kita semua.

Leiden is lijden (memimpin itu menderita)

Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di sudut rumah dan kasur-kasu digulung di sudut lainnya ruang besar itu. Di sanalah tempat tidur Haji Agus Salim (Menteri Luar Negeri RI) bersama istri dan anak-anaknya.

Dikontrakkan yang lain, Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. Haji Agus Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah tempat atau rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri.

Begitulah seperti dikisahkan Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi ini. Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ menyebutkan bahwa H. Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakkan ke kontrakkan lain.

Dari satu gang ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya. “Selama hidupnya dia selalu melarat dan miskin,” kata Profesor Willem “Wim” Schermerhorn. Wim menjadi ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati. (Majalah Tempo Edisi Khusus Agus Salim)

Pernah, pada salah satu kontrakkan tersebut, toiletnya rusak. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis sejadi-jadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber. Zainatun Nahar istrinya,tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istirnya menggunakan pispot

Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal: “leiden is lijden” (memimpin itu menderita) kata Agus Salim. Lihatlah bagaimana tak ada sumpah serapah meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan kebersihan WC, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, dll.

Saat salah satu anak Salim wafat ia bahkan tak punya uang untuk membeli kain kafan. Salim membungkus jenazah anaknya dengan taplak meja dan kelambu. Ia menolak pemberian kain kafan baru. “Orang yang masih hidup lebih berhak memakai kain baru,” kata Salim. “Untuk yang mati, cukuplah kain itu.”

Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Ya, seorang diplomat ulung, menteri, pendiri Bangsa yang mewakafkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah, bahwa memimpin itu adalah ibadah.

Inilah salah satu pemikiran yang luar biasa dari Agus Salim, terkait tentang bagaimana politik itu seharusnya dijalankan.

Politik Indonesia saat ini harusnya malu dengan Bapak Agus Salim, dimana pemikiran beliau sudah sangat jauh kedepan, sedangkan sampai saat ini, kita masih lebih dominan dalam putaran arus Politik Kekuasaan.

Berikut pemikiran beliau terkait politik, dikutip dari situs merdeka :

  • Partai politik terlalu menuntut kursi kabinet

Haji Agus Salim sadar kehidupan demokrasi di Indonesia (saat itu) masih lemah. Dia menyesalkan partai-partai dengan anggota besar yang terlalu banyak menuntut kursi kabinet. Berikut petikan surat Haji Agus Salim:

"Terlebih ngeri setelah mengalami, bahwa partai-partai dengan dasar besar jumlah bilangan anggotanya, bukan saja menuntut bagian kursi yang tertentu dalam dewan menteri melainkan malah hendak menentukan mana-mana kursi itu, dan siapa-siapa orangnya yang dikehendakinya menduduki tiap-tiap kursi itu. Kerap kali dengan tidak memandang pelajaran, kecakapan, dan pengalaman yang lalu.

Adapun negara kita yang baru saja berdiri, telah mengalami pertukaran menteri-menteri berulang-ulang. Dalam selama masa hidup republik yang baru 4 tahun 4 bulan umurnya dari mula berdiri sampai saat pendirian RIS, beberapa kementerian yang penting sudah menjalani pertukaran menteri, ada yang sampai 6 kali dan kecuali Kementerian Luar Negeri, tidak ada yang kurang daripada 3 kali."

  • Partai politik terlalu mementingkan jumlah anggota

Haji Agus Salim menyesalkan partai politik yang terlalu memikirkan jumlah anggota dan tidak sadar apakah mereka memiliki kemampuan memimpin:

"Tetapi marilah kita kembali ke pangkal pemandangan yang tadi itu yaitu bahwa saya ngeri melihat partai-partai terlalu mementingkan besar jumlah bilangan anggotanya. Tambahan lagi, tuntutan yang didasarkan jumlah bilangan itu biasanya ditambah pula “kehebatannya” dengan mengadakan demonstrasi arak-arakan atau rapat raksasa, rapat samudra, - kelak barangkali rapat cakrawala-, untuk memperlihatkan “dahsyatnya” jumlah rakyat yang dapat digerakkan untuk menyokong tuntutan-tuntutannya.

Padahal, manakah partai yang ada persiapan atau kelengkapannya pemimpin pucuk, pemimpin umum, pemimpin besar, pemimpin daerah dan pemimpin ranting di lapisan bawah dalam kalangan rakyat ramai, dan pemimpin-pemimpin yang mungkin mencukupi syarat untuk mendidik, menunjuki, mengajar dan memimpin rakyat ramai, sampai beribu, berlaksa, berketi, berjuta bilangannya itu? tentang ini boleh kita pastikan, bahwa rata-rata partai besar-besar, yang membanggakan besarnya angka-angka jumlah anggota dan pengikutnya tidak mempunyai persiapan dan kelengkapan pimpinan di segala tingkatan itu."

  • Jika partai politik berebut kekuasaan akan lupa rakyat

Haji Agus Salim mengingatkan partai politik yang lupa pendidikan politik untuk rakyat tetapi lebih mengejar kekuasaan:

"Bahwa partai-partai besar sudah mesti tahu bahwa mereka tak dapat mengharap akan sungguh-sungguh mendidik menunjuki rakyat, mematangkan, mencerdaskan paham pengertian rakyat itu, membangunkan, menghidupkan budi pikiran mereka, supaya tahu menimbang, tahu membanding sendiri sebagaimana yang dikehendaki oleh azas demokrasi yang sesungguhnya.

Saya ngeri memikirkan bahaya yang mungkin menimpa atas rakyat umumnya yang terlebih besar jumlahnya. Rakyat yang tidak turut melayani politik dan membiarkan saja partai-partai yaitu tegasnya pemimpin-pemimpin partai politik berebut-rebut masing-masing hendak menguasai politik dan kekuasaan atas negara dan sekalian rakyat. Ngeri memikirkan kalau-kalau akan datang kelak suatu masa yang rakyat itu melihat negaranya dan dirinya telah tunduk kepada kekuasaan sesuatu diktator, yang menghapuskan segala hak hak kemerdekaan atas nama kemerdekaan dan kedaulatan mereka bersama."

  • Pendidikan politik sebaiknya dilakukan oleh sosok tidak berpartai

Menurut Haji Agus Salim gerakan pendidikan politik sebaiknya dipelopori oleh pihak Islam mengingat besarnya jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia. Tetapi gerakan pendidikan ini tidak bermaksud untuk menarik orang agar masuk partai Islam. Yang dituju adalah agar semua Muslimin dalam partai apapun memperoleh tuntutan yang menghidupkan semangat dan meninggikan derajat pengetahuan, pengertian dan pahamnya tentang Islam. Petikan dari surat Haji Agus Salim:

"Gerakan ini tidak harus bertujuan menarik orang-orang dari partai partai mereka masuk ke dalam sesuatu partai Islam. Dengan mengingat bahwa agama Islam pun mengajarkan bahwa orang masing-masing boleh ada tujuan kebajikan, yang tidak melanggar agama, diutamakannya lebih daripada tujuan yang lain, gerakan ini harus mengusahakan supaya sekalian kaum Muslimin dalam partai apapun jua mendapat penerangan dan tuntunan yang menghidupkan semangat dan meninggikan derajat pengetahuan, pengertian dan pahamnya tentang agamanya. Dengan begitu bolehlah agamanya itu lebih tegas menjadi pedoman bagiannya dalam kehidupan sehari-hari dan juga dalam usahanya untuk mencapaikan tujuan-tujuan partainya dalam berpolitik.

Gerakan ini mungkin mendapat kawan-kawan yang suka bekerja sama dalam segala partai. Hanya pihak yang memulainya terlebih baik jangan tergolong di dalam sesuatu partai. Dan kerjanya tidak dibataskan terhadap orang-orang partai saja, melainkan terlebih sekali ditujukan kepada jumlah yang terbesar itu, yang tidak mencampuri kepartaian itu dan tidak terikat oleh azas, rencana tujuan dan disiplin sesuatu partai."

  • Parpol berebut menteri tetapi tidak memiliki kualifikasi bagus sebagai menteri

Haji Agus Salim mempertanyakan para parpol yang menuntut banyak kursi kabinet sementara belum tentu memiliki kualifikasi tokoh bagus untuk posisi menteri:

"Bagaimanakah menteri-menteri kita itu akan dapat memahamkan tugas kewajibannya, yang kebanyakan kali dihadapinya untuk pertama kali. Bagaimanakah ia akan dapat mengenal pegawai-pegawainya itu dan memberi pimpinan kepada mereka istimewa pimpinan semangat, bersetuju dengan partainya. Bahkan bagaimanakah ia akan mengharapkan anggapan dan penghargaan akan dirinya sebagai kepala, padahal pegawai-pegawai, itu lebih paham, lebih mengerti pekerjaan mereka daripada YM menteri itu? Apalagi jika mereka dari bermula sudah boleh menerka, bahwa Yang Mulia tak akan sampai cukup setahun duduknya! Sebentar lagi mungkin ada krisis kabinet atau perobahan susunan (reshuffle) pula yang mungkin menyapu Yang Mulia dari atas kursinya.

Mengingat segala itu sungguh ajaib, yang keadaannya tidak menjadi lebih kacau, lebih kalut daripada yang sudah kita ketahui. Ajaib sampai seakan-akan merupakan mukjizat, yang Republik kita dapat mengatasi segala kesulitan, menyingkarkan segala aral rintangan di jalan yang ditempuhnya selama 4 tahun 4 bulan itu dengan tidak menemui ajalnya, musnah, terhapus dari keadaan! Malah akhirnya dapat menghapus kekuasaan penjajahan dengan pasti dan dengan penyaksian seluruh dunia para negara (internasional)."

Agus Salim, walaupun terlihat serius, tetapi juga mempunyai selera humor yang tinggi. Humornya pun sangat cerdas.

Anjing

Suatu hari dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim mendapat ejekan dari Muso, tokoh Si Merah yang berhaluan komunis, sedangkan Agus Salim adalah SI Putih.

Dalam buku Mengikuti Jejak H Agus Salim dalam Tiga Zaman karangan Untung S, pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium. “Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?”

“Kambing!” jawab para hadirin.

“Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa”

“Kucing!”

Haji Agus Salim sadar sedang menjadi sasaran ejekan Muso karena dialah yang memelihara jenggot dan kumis. Tak ia tak langsung emosi. Saat gilirannya berpidato tiba, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Hadirin berteriak riuh, “Anjing!”

Dalam versi yang lain, Agus Salim sendiri yang menjawab, “Anjing”

Rok Mini

Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Amerika Serikat, Haji Agus Salim langsung diserbu wartawan. Beberapa wartawan muda iseng menanyakan pendapat Agus Salim tentang kesan pertamanya berada di negeri Paman Sam tersebut.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Agus Salim hanya tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan guyonan.

“Rok-roknya memang bagus sekali, tetapi menurut pendapat saya betis-betis di bawah rok itu malah lebih bagus.” jawab Agus Salim.

Kisah ini diceritakan oleh Jef Last. Ia adalah seorang sosialis yang pernah mengenal dekat sosok Agus Salim.

Sendok

Suatu hari Agus Salim diundang makan malam. Pada acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan tangannya. Seorang Eropa terkesima dengan tindakan tersebut dan langsung menegur,

“Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah tersedia sendok”.

Salim lantas menjawab,

”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah masuk ke mulut banyak orang.

Kambing

Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing.

Meski diejek oleh banyak orang, namun Salim tak kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas,

“Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan.

Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Pada masa mudanya, Agus Salim adalah sosok “pemuda pemberang” yang selalu gelisah. Dia sempat berpindah-pindah profesi dari penerjemah sampai notaris. Pengembaraannya ke luar negeri membawa Agus Salim pada sejumlah pemimpin organisasi Islam intemasional, seperti Muhammad Abduh dan Jamaludin Al Afgani. Persinggahan terakhimya adalah mendedikasikan diri bagi bangsa dan negaranya. Tercatat Agus Salim menjadi Duta Besar Republik Indonesia pertama dan Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir dan Hatta (1947-1949).

Agus Salim lahir dengan nama Masyudul Haq (berarti pembela kebenaran) di Kota Gadang, Bukit­ tinggi, pada bulan Oktober 1884. Dia termasuk segelintir anak bumiputera yang bisa menikmati pendidikan Belanda. Anak bekas jaksa dari Sumatera Barat itu adalah lulusan terbaik sekolah menengah Belanda (Hogere Burger School - HBS). Bakatnya luar biasa dalam menguasai bahasa asing. Ia mampu berbicara dalam sembilan bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, Jepang, dan tentu saja bahasa Indonesia dan Minang.

Setamat HBS, sebenarnya Agus Salim ingin menjadi dokter. Tapi akhirnya dia harus mengurungkan cita-citanya karena tidak ada biaya untuk kuliah di Belanda. Konon sebenarnya ia bisa saja belajar ke Belanda berkat bantuan dari RA. Kartini. Saat itu Kartini baru saja memperoleh beasiswa untuk belajar di Belanda, tetapi tidak bisa digunakan karena ia harus menikah. Kartini meminta pemerintah Belanda agar memberikan beasiswa itu kepada pemuda Agus Salim.

Entah kenapa, Agus Salim tidak memanfaatkan beasiswa itu. Yang jelas, setamat BBS, Agus Salim bekerja pada pemerintah Belanda dan ditempatkan di Jeddah sebagai penerjemah. Sembari bekerja, Agus Salim memperdalam ilmu agama Islam kepada pamannya sendiri, Syech Ahmad Khatib, Imam Masjid Haram.

Sepulang dari Jeddah, Agus Salim tidak lagi betah bekerja untuk Belanda. Ia kemudian mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School) sebelum kemudian masuk dunia pergerakan nasional lewat Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penjadar. Ia mulai malang-melintang dalam politik praktis untuk membangkitkan semangat menuju kemerdekaan. Sebagai pemimpin pergerakan nasional, Agus Salim menyadari pentingnya menyebarkan pemikirannya kepada khayalak. Karena itu, Agus juga tekun menjalankan profesinya sebagai wartawan.

Di SI karir organisasi Agus Salim berkembang. la langsung menjadi anggota pengurus pusat SI. Pada 1919 Agus Salim dan Semaun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang menuntut Belanda segera mendirikan dewan perwakilan rakyat yang sebenarnya. Agus sempat pula mengorganisasi pemogokan buruh untuk menuntut kenaikan gaji di Surabaya, Cirebon, dan Semarang. Demi memper­ juangkan kepentingan rakyat, Agus Salim bersedia duduk di Volksraad (Dewan Rakyat bentukan Belanda) dari 1921-1924. Sejak itu Volksraad semakin tidak kooperatif dengan pernerintah Hindia Belanda.

Sikap membangkang yang ditunjukkan Agus Salim kepada pemerintahan kolonial juga tampak dalam goresan penanya sebagai warta wan. la kerap memaparkan praktik penindasan Belanda terhadap rakyat kecil, terutama di daerah perkebunan di Indonesia. Tak sebatas bersembunyi di belakang pena, kata-katanya juga terkenal vokal. Pidato-pidato yang ia lontarkan saat menjadi anggota Volksraad sungguh membangkitkan kesadaran. Agus Salim mengecam keras ketidakpedulian Belanda terhadap rakyat jajahannya. Ucapan yang tidak kalah tajamnya juga kerap ia sampaikan di depan anggota Jong Islamieten Bond yang ia dirikan.

Meskipun dekat dengan buruh dan rakyat, Agus Salim tidak bergeser dari ajaran Islam di sepanjang perjuangannya. Tidak mengherankan tatkala unsur­ unsur komunis mulai masuk ke dalam SI (ketika itu sudah menjadi partai) pada era 1920-an, ia bereaksi keras. Pada Konggres SI tahun 1921, Agus Salim mengusulkan agar anggota yang sudah menganut komunisme agar meninggalkan SI demi disiplin partai.

Di masa awal kemerdekaan, Agus Salim ikut merancang UUD 1945 bersama 18 orang lamnya dipimpin Soekarno. Namun, jasa Agus Salim yang paling penting adalah misi diplomatiknya memperkenalkan negara baru ini ke dunia luar. Pangkal kemenangan diplomasi Indonesia adalah perjanjian persahabatan dengan Mesir pada 1947. Kepiawaian Agus Salim berdiplomasi ini pun terus ia lakukan saat ia menjadi menteri luar negeri di masa Kabinet Sjahrir, Kabinet Amir Sjarifuddin, dan kabinet Hatta. Walau badannya kecil, di kalangan diplomatik ia dikenal dengan julukan The Grand Old Man sebuah bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.

Meski terkenal bermulut pedas, anehnya, tak pernah sekalipun Agus Salim ditangkap Belanda. Padahal, rekan-rekan seperjuangannya di Serikat Islam (SI), seperti H.OS. Tjokroaminoto, pendiri SI, kerap masuk bui. Akibatnya muncul isu tidak sedap yang mengatakan kalau Agus Salim sebenarnya adalah antek Belanda. Sebab, sebelum dia benar-benar terjun sebagai wartawan dan aktif dalam gerakan kemerdekaan, ia adalah pegawai pemerintah Belanda. Bahkan semasa di Riau, Agus Salim sempat diangkat anak keluarga Belanda. Belakangan isu tak terbukti kebenarannya. Hanya sekadar gosip murahan yang sengaja ditiupkan pemerintah Belanda dengan maksud mengadu domba para pemimpin bangsa. Agus Salim adalah nasionalis tulen yang memiliki cita-cita melihat negara Indonesia bebas dari kungkungan penjajah Belanda.

Sebagai pribadi, Agus Salim yang wafat tahun 1954 di usia 70 tahun dikenal berjiwa bebas. Ia tidak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan. Ia pun berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Ia memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri ketimbang menyerahkan pendidikan mereka ke sekolah formal. Agus Salim sangat peduli pada pembentukan watak atau karakter, yang menurutnya tidak didapat dari sekolah formal.