Bagaimana Konsep To Manurung dalam Pembentukan dan Perkembangan Kerajaan Bone?

Konsep To Manurung dalam Pembentukan dan Perkembangan Kerajaan Bone

Bagaimana Konsep To Manurung dalam Pembentukan dan Perkembangan Kerajaan Bone ?

Konsep To Manurung dalam Pembentukan dan Perkembangan Kerajaan Bone


Sebelum terbentuknya Kerajaan Bone, daerah Bone terdiri dari gabungan unit-unit politik atau persekutuan masyarakat yang disebut anang yang dipimpin oleh matowa anang (pemimpin kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua , seperti Wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete ri Attang, Tanete ri Awang, Ponceng, dan Macege . Pembentukan wanua didorong oleh ikatan keturunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadap persekutuan teritorial hidup lainnya, dalam sistem kepemimpinan patrimonial (garis keturunan dari pihak ayah). Hal inilah yang menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya dan saling membunuh. Zaman ini, oleh Pelras disebut dengan zaman anarkis atau kekacauan.

Persekutuan teritorial tertutup menyebabkan setiap wanua bermusuhan dengan wanua yang lainnya, mereka tidak menjalin komunikasi, tidak punya peraturan lagi dan tidak ada raja. Zaman tersebut berlangsung cukup lama kurang lebih pitu tutture|nna (mungkin yang dimaksud tujuh generasi atau tujuh puluh tujuh tahun). Seperti yang tergambarkan dalam Lontara Attoriolong yang disusun oleh B. F. Matthes, “Bahkan lontara menggambarkan periode ini sebagai periode di mana manusia seperti ikan (sianre bale tauwe), di mana yang lebih besar dan kuat memakan yang lebih kecil dan lemah”.

Kondisi itu berubah ketika kehadiran seseorang yang tidak diketahui asal usulnya dan namanya, orang menyebutnya To Manurung (orang yang turun dari langit). Lukisan dari Lontara menyebutkan “dinamakan To Manurung, sebab tidak diketahui dari mana datangnya dan tidak pula diketaui ayah dan ibunya”.

Kemunculan To Manurung di Bone dikisahkan sangat luar biasa dalam Lontara Akkarungeng ri Bone : Pada suatu masa, disuatu hari petir sambung-menyambung, guntur menggerumuh, serta gempa bumi, selama satu pekan (sipasa = bugis), ketika petir, guntur, dan gempa bumi berhenti, lantas ada seseorang yang kelihatan berdiri di tengah lapangan, berseragam putih, dan dinamakan tomanurung.

Kemunculan To Manurung inilah awal mula pembentukan Kerajaan Bone. Peristiwa yang mendahului kemunculan To Manurung tidak dijelaskan secara rinci mengenai berapa lama peristiwa itu berlangsung, hanya disebutkan dalam lontara adalah sipasa (waktu (hari) bergiliran setiap kampung untuk menyelenggarakan pasar. Pen.). Menurut hemat penulis dan berdasarkan dari tradisi sekarang di Bone, bahwa setiap kampung mendapatkan giliran untuk menyelenggarakan pasar adalah setiap lima hari sekali, maka mungkin saja kejadian itu terjadi dalam lima hari.

Kemunculan To Manurung yang diawali peristiwa yang sangat dahsyat seperti yang dijelaskan dalam lontara di atas, hal itu menarik perhatian masyarakat untuk menemuinya, karena peristiwa itu baru berakhir setelah kemunculannya. Orang-orang berdatangan dan berkumpul dari setiap “ anang ” (kaum) yang mendiami daerah-daerah tertentu, bersatu dan bersepakat untuk menemui To Manurung dengan memohon kiranya To Manurung dapat menetap bersama mereka agar ada yang dapat menyelesaikan pertikaian di antara mereka yang sudah sekian lama berlangsung. Setelah menemui To Manurung, orang banyak itu pun berkata:

Adapun maksud kedatangan kami menemuimu, maksud dan harapan kami mendapatkan limpahan belas kasihan, kiranya tidak akan meninggalkan kami dan tinggal menetaplah menduduki tanahmu, kami semua inilah menjadi abdimu, kehendakmu adalah kehendak kami, perintahmu kami patuhi dan lakukan, apabila engkau tidak menyukai/menyenangi, kamipun tidak menyukainya, tetapi tinggallah di sini untuk raja kami.

Mendengar perkataan orang banyak itu, maka yang disangkanya sebagai To Manurung berkata:

Bahwa ucapan kalian itu baik, tetapi aku beritahu kepada kalian semua, tidak mungkinlah saya menjadi raja, karena saya pun adalah budak, sama seperti kalian semua, jika engkau ingin memilih raja, maka tuanku itu bisa kalian pilih sebagai raja. Orang banyak itupun berkata: bagaimana kami dapat memilih yang tidak kelihatan oleh kami, maka berkatalah orang yang disangka sebagai To Manurung, jika kalian benar mau aku perlihatkan. Orang banyak menjawab, dengan jalan pengasihan dan bantuan sepenuhnya darimu, bawalah dan tunjukkanlah kepada kami. Kemudian dibawalah orang banyak tersebut pergi ke suatu tempat di Matajang, selanjutnya guntur kembali menggemuruh dan petir pun kembali sambung-menyambung, dan mereka mendapati To Manurung duduk di atas batu lebar (batu lappae) dengan berpakaian serba kuning, bersama tiga abdinya, seorang di antaranya memayungi dengan payung kuning, seorang lagi mengipasinya dan seorang lagi memegang tempat sirih-pinang, dari logam berupa kotak (Sale’nrang). To Manurung yang didatangi menyapa Matowa dan bertanya, apakah engkau itu Matowa? Matowa menjawab, iya tuan. Barulah orang banyak itu mengetahui, bahwa yang ditemuinya tadi itu bukanlah To Manurung, akan tetapi Matowa sebagai abadi To Manurung.

Orang banyak itupun menghadap kepada To Manurung yang berpakaian serba kuning, lalu berkata:

Adapun maksud kedatangan kami menemuimu, untuk mendapatkan limpahan belas kasihan, tinggal menetaplah ritanamu, dan janganlah engkau meninggalkan kami, menetaplah dan andalah pemimpin kami, kehendakmu adalah kehendak kami, perintahmu juga, bila engkau tidak menyenangi/menyukai, kami pun tidak menyukainya, tetapi, pimpinlah kami, dan kamulah pemimpinku.

To Manurung yang berpakaian serba kuning berkata:

Ku junjung janjimu ke atas kepala kata-katamu hai orang banyak (rakyat Bone) ku tempatkan ikrarmu dalam mahligai keemasan, menjadilah kehormatan dan tekadmu sekarang bersatu padu menerimaku sebagai rajamu

Sejak saat setelah tercapainya kesepakatan antara To Manurung dengan seluruh anang , ulu anang , matowa bersama segenap orang banyak untuk menobatkan To Manurung itu menjadi raja, dan saat itu pulalah Kerajaan Bone mulai berdiri. To Manurung dibawa ke Bone yang telah dipilih langsung oleh rakyat Bone, maka terciptalah kehidupan yang aman dan damai, penghidupan yang makmur, semua bergembira, dan tidak ada kesusuhan sejak hadirnya To Manurung di tengah-tengah mereka.

Masyarakat Bone tidak mengetahui nama atau gelarnya, jadi mereka hanya menamakan To Manurung sesuai dengan sifatnya. Sifat To Manurung yang menjadi dasar pemberian nama atau gelarnya adalah jika dia berdiri di tengah lapangan dan melihat orang di lapangan tersebut, maka To Manurung mengetahui berapa banyak orang di lapangan tersebut. Dengan demikian, orang memberinya gelar atau nama Mata Silompo’e Manurunge ri Matajang.

Mitos tentang To Manurung merupakan salah satu dari anasir yang ikut menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Hal itu dipercaya sebagai cerita-cerita yang mengandung peristiwa-peristiwa dan makna-makna aktual. Ia mempunyai pengertian sebagaimana yang dikemukakan antropologi Bronislaw Malinowski, bahwa mitos adalah suatu unsur terpenting dari peradaban umat manusia, ia bukan cerita omong kosong, tetapi sesuatu kekuatan aktif yang tangguh, ia bukan suatu penjelasan intelektual atau suatu khayalan seni, tetapi ia suatu perjanjian tentang kepercayaan dan kebijaksanaan moral yang mempunyai manfaat.

Mitos tentang To Manurung menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bone pada saat itu, yang percaya kepada keberadaan dewa-dewa dan kepercayaan kepada To Manurung inilah dasar terbentuknya stratifikasi sosial di Kerajaan Bone.

To Manurung sebuah cerita yang mengawali seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat, dan menjadi raja pertama semua kerajaan kecuali Kerajaan Wajo. 16 Konsep To Manurung bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah konsep yang menganggap bahwa “raja adalah titisan dewa di atas permukaan bumi”. Orang yang mampu mengakhiri periode keterpurukan yang terjadi di Kerajaan Bone. Kalau kita melakukan reinterpretasi secara analisis mendalam mengenai To Manurung, maka To Manurung (orang yang turun yang berarti dari tempat tinggi) yang dimaksud masyarakat Bugis-Makassar adalah orang yang memiliki pandangan lebih luas dan maju serta menguasai semua aspek-aspek kepemimpinan yang diperlukan masyarakat pada masa itu, seperti yang disebutkan oleh Andi Anton Pangeran. To Manurung dianggap sebagai simbol suatu ideal type dari kepemimpinan politik (political leadership ) dalam budaya politik masyarakat tradisional.

Satu hal yang menarik dari kedatangan To Manurung yakni terjadinya eksperimen baru dengan bentuk kekuasaan yang melompat dari bentuk-bentuk kekuasaan pada tingkat kaum yang dipimpin oleh matowa, ke bentuk kekuasaan baru yang lebih tinggi dan lebih dipusatkan dalam tangan satu orang yaitu To Manurung, yang dijadikan raja. Lahirnya suatu kerajaan dengan kedatangan To Manurung, tidak melalui penaklukan atau paksaan fisik atau penindasan sesuatu golongan atau kelas masyarakat.

To Manurung juga sebagai Antropologi politik orang Bugis untuk membentuk sebuah negara, sebagai solusi dari kemujudan masyarakat Bone pada saat itu, ketika masyarakat sangat terbelakang perkembangannya dari berbagai hal. Kemampuan raja menyusun berbagai sistem kenegaraan sesuai sikap hidup dan nilainilai ideal dari wujud kebudayaannya, seperti hukum, kaidah kehidupan dan sebagainya. Sehingga menurut penulis, bahwa anggapan masyarakat mengenai raja pertama Kerajaan Bone adalah To Manurung (orang yang turun dari langit) itu tidak benar, melainkan kemampuan raja secara rohani dan jasmani yang mampu menghimpun dan mempersatukan masyarakat Bone dari sebuah periode keterpurukan. Akan tetapi, kesulitan atau krisis yang terjadi sebelum kedatangannya dan mampu mengatasi kesulitan dan krisis yang terjadi sebelumnya, maka wajar dan layak mendapatkan gelar yang mulia To Manurung.

Konsep kepercayaan terhadap To Manurung sangat penting dan berpengaruh dalam kajian islamisasi, kepercayaan terhadap raja yang merupakan keturunan To Manurung sebagai personifikasi dewa di bumi. Ketika raja menerima Islam maka seluruh masyarakat akan menerima Islam sebagai wujud dari kepercayaan terhadap To Manurung.

Lontara tidak menyebutkan secara terperinci tahun terbentuknya Kerajaan Bone, yang disebutkan dalam lontara hanya lamanya beberapa raja memerintah. Merujuk kepada perayaan hari jadi Bone yang setiap tahun dilaksanakan, yang tahun ini dirayakan hari jadi Bone yang ke 683 tahun. Jadi Pemerintah Kabupaten Bone sekarang ini menggunakan tahun 1330 sebagai tahun terbentuknya Bone (kerajaan Bone). Tahun 1330 M. menurut penulis hanyalah merupakan perkiraan, sebab kemungkinan penanggalan orang Bone dahulu berbeda dengan penanggalan sekarang (Masehi). Ada beberapa istilah yang digunakan orang Bugis yang menandakan waktu, seperti Pattaungeng atau perhitungan tahun yaitu waktu disesuaikan panen padi atau jagung (dahulu orang hanya satu kali panen setahun). Ada juga dikenal bilang duapulo yaitu 20 hari, perhitungan hari ini sebagai hari-hari yang baik untuk melaksanakan sesuatu, mungkin saja hal inilah sebagai patokan orang Bone terdahulu dalam menentukan hari untuk satu bulan. Ada juga istilah sipasa yang mungkin terdiri dari lima hari. Selain itu perkataan pariamang ada yang mengartikan sebagai waktu yang lama, juga mengartikan satu generasi (25 tahun), ada juga mengartikan sepuluh tahun, dan ada juga yang mengartikan delapan tahun atau windu (jawa).

Kerajaan Bone dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Bone menjadi kerajaan yang penting di Sulawesi Selatan. Pada abad XVI-XVII Kerajaan Bone menjadi saingan politik Kerajaan Gowa-Tallo, terindikasikan pada banyaknya perang antara kedua kerajaan ini, pada akhirnya Kerajaan Bone ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo selama kurang lebih 17 tahun lamanya. Kerajaan Bone kemudian mampu membebaskan diri dari penguasaan Kerajaan Gowa-Tallo setelah Kerajaan Bone yang dipelopori oleh Arung Palakka dengan pemerintahan Belanda (VOC) yang diwakili oleh Admiral Speelman. Setelah kejatuhan Kerajaan GowaTallo, Kerajaan Bone bangkit dan menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar sampai awal abad XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.2

Peranan dan pengaruh Kerajaan Bone yang sangat besar di Sulawesi Selatan, sehingga di antara kerajaan-kerajaan Bugis lainnya, seperti Luwu, Soppeng, Wajo, dan lain-lainnya. Kerajaan Bone menjadi standar dari pola-pola kehidupan politikekonomi dan kebudayaan bagi kerajaan-kerajaan Bugis lainnya. Demikianlah maka sampai sekarang yang dijadikan bahasa Bugis standar, adalah bahasa Bugis orang Bone.

Pada perkembangan selanjutnya, pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat perang besar. Perang itu terjadi pada tahun 1824-182526 dan pada tahun 1859-1860. Pada perang yang terjadi pada tahun 1859-1860, Kerajaan Bone mengalami kekalahan dan akhirnya jatuh dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dengan status sebagai kerajaan pinjaman. Tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda menyerang Kerajaan Bone yang dikenal sebagai Rumpa’na Bone, Kerajaan Bone mengalami kekalahan dan merebut ibu kota Watampone serta ditawannnya Raja Bone La Pawawoi Karaeng Sigeri dan menjadi daerah jajahan pemerintahan Hindia Belanda.

Sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, Kerajaan Bone menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia, tetapi oleh siasat politik devide et impra Belanda maka pada tanggal 24 Desember 1946 muncullah Negara Indonesia Timur (NIT) di mana Bone termasuk pula di dalamnya. Akan tetapi, pada bulan Mei 1950 situasi politik Bone makin hangat hingga terjadilah demonstrasi rakyat di Kota Watampone, mereka menuntut dihapuskannya pemerintahan feodal, daerah Bone tetap di belakang Republik Indonesia, bubarkan Negara Indonesia Timur. Sehingga pada tanggal 21 Juni 1950 Pemerintah Kerajaan Bone menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Republik Indonesia. Pada tanggal 2 Maret 1953 Gubernur Sulawesi Selatan dijabat oleh Soediro, melantik anggota DPRD Bone sehingga dengan resmi Kerajaan Bone pun menarik diri dari sejarah sebagai pemerintahan kerajaan yang setingkat dengan kabupaten lainnya dari Negara Republik Indonesia, yang dipimpin oleh Kepala Daerah (Bupati). Mulai pada saat itu Kerajaan Bone tidak ada lagi, yang ada adalah Kabupaten Bone.

Konsep To Manurung dalam Pembentukan dan Perkembangan Kerajaan Bone

Sebelum terbentuknya Kerajaan Bone, daerah Bone terdiri dari gabungan unit-unit politik atau persekutuan masyarakat yang disebut anang yang dipimpin oleh matowa anang (pemimpin kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua , seperti Wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete ri Attang, Tanete ri Awang, Ponceng, dan Macege. Pembentukan wanua didorong oleh ikatan keturunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadap persekutuan teritorial hidup lainnya, dalam sistem kepemimpinan patrimonial (garis keturunan dari pihak ayah). Hal inilah yang menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya dan saling membunuh. Zaman ini, oleh Pelras disebut dengan zaman anarkis atau kekacauan.

Persekutuan teritorial tertutup menyebabkan setiap wanua bermusuhan dengan wanua yang lainnya, mereka tidak menjalin komunikasi, tidak punya peraturan lagi dan tidak ada raja. Zaman tersebut berlangsung cukup lama kurang lebih pitu tutture|nna (mungkin yang dimaksud tujuh generasi atau tujuh puluh tujuh tahun). Seperti yang tergambarkan dalam Lontara Attoriolong yang disusun oleh B. F. Matthes, “riasEGi pitu tuturEn aitn ed aru, sikuwtoni aitn tEsisEn tauew sieyw ad, tEekadE tEekbicr”. “riaseng pitu tutturenna ittana de arung, sikuwatoni ittana te|ssise|nna tauwe siewa ada, te|kkeade’ te|kebicara.” (Terjemahan bebas : Bahkan lontara menggambarkan periode ini sebagai periode di mana manusia seperti ikan (sianre bale tauwe ), di mana yang lebih besar dan kuat memakan yang lebih kecil dan lemah.

Kondisi itu berubah ketika kehadiran seseorang yang tidak diketahui asal usulnya dan namanya, orang menyebutnya To Manurung (orang yang turun dari langit). Lukisan dari Lontara menyebutkan “nriasE ger tomnuru, nsb tErisE apoelGEn, tErisEto ainn amn.”Nariyaseng To Manurung, nasaba’ tenrisseng apolengenna, tenrissitto inanna amanna . (Terjemahan bebas: dinamakan To Manurung, sebab tidak diketahui dari mana datangnya dan tidak pula diketaui ayah dan ibunya ).

Kemunculan To Manurung di Bone dikisahkan sangat luar biasa dalam Lontara Akkarungeng ri Bone: “aEK esauw wEtu riesauwea aEso siyeR bilea lEet ewroea, ePwtoni tnea, riysEmis sips mkuw, naiy mGEdnn bilea, lEet ewroea, ePwtnea, tko Kmun ritu tau tEto ritEGn pdeG, msGE puet, riysEni tomnuru. Engka seuwwa wettu risewwae esso sianre billae lette weroe, pewangtoni tanae, riasengmisa sipasa makkuwa, naiya mangeddanana billae, lette weroe, pewang tanae, takko engkamuna ritu tau tettong ritengana pandange, massange pute, riaseng To Manurung ” (Terjemahan bebas: pada suatu masa, disuatu hari petir sambung-menyambung, guntur menggerumuh, serta gempa bumi, selama satu pekan (sipasa = bugis), ketika petir, guntur, dan gempa bumi berhenti, lantas ada seseorang yang kelihatan berdiri di tengah lapangan, berseragam putih, dan dinamakan tomanurung. )

Kemunculan To Manurung inilah awal mula pembentukan Kerajaan Bone. Peristiwa yang mendahului kemunculan To Manurung tidak dijelaskan secara rinci mengenai berapa lama peristiwa itu berlangsung, hanya disebutkan dalam lontara adalah sipasa (waktu (hari) bergiliran setiap kampung untuk menyelenggarakan pasar. Pen.). Menurut hemat penulis dan berdasarkan dari tradisi sekarang di Bone, bahwa setiap kampung mendapatkan giliran untuk menyelenggarakan pasar adalah setiap lima hari sekali, maka mungkin saja kejadian itu terjadi dalam lima hari.

Kemunculan To Manurung yang diawali peristiwa yang sangat dahsyat seperti yang dijelaskan dalam lontara di atas, hal itu menarik perhatian masyarakat untuk menemuinya, karena peristiwa itu baru berakhir setelah kemunculannya.

Orang-orang berdatangan dan berkumpul dari setiap “anang” (kaum) yang mendiami daerah-daerah tertentu, bersatu dan bersepakat untuk menemui To Manurung dengan memohon kiranya To Manurung dapat menetap bersama mereka agar ada yang dapat menyelesaikan pertikaian di antara mereka yang sudah sekian lama berlangsung. Setelah menemui To Manurung, orang banyak itu pun berkata:

“aiyn kilaow mairiko, lmruep, amsEankE, ajn mualj, mutudn ritnmu, naikon powtkE, ealomu ealo rikE, npsuromun kiaolai, kipogau, nmaun admE, nptromE, muetyaiwi, kietyaitosi nerko moRomuno mai rini, naiy kipgw”

(Terjemahan bebas: adapun maksud kedatangan kami menemuimu, maksud dan harapan kami mendapatkan limpahan belas kasihan, kiranya tidak akan meninggalkan kami dan tinggal menetaplah menduduki tanahmu, kami semua inilah menjadi abdimu, kehendakmu adalah kehendak kami, perintahmu kami patuhi dan lakukan, apabila engkau tidak menyukai/menyenangi, kamipun tidak menyukainya, tetapi tinggallah di sini untuk raja kami.)

Mendengar perkataan orang banyak itu, maka yang disangkanya sebagai To Manurung berkata: bahwa ucapan kalian itu baik, tetapi aku beritahu kepada kalian semua, tidak mungkinlah saya menjadi raja, karena saya pun adalah budak, sama seperti kalian semua, jika engkau ingin memilih raja, maka tuanku itu bisa kalian pilih sebagai raja. Orang banyak itupun berkata: bagaimana kami dapat memilih yang tidak kelihatan oleh kami, maka berkatalah orang yang disangka sebagai To Manurung, jika kalian benar mau aku perlihatkan. Orang banyak menjawab, dengan jalan pengasihan dan bantuan sepenuhnya darimu, bawalah dan tunjukkanlah kepada kami. Kemudian dibawalah orang banyak tersebut pergi ke suatu tempat di Matajang, selanjutnya guntur kembali menggemuruh dan petir pun kembali sambung-menyambung, dan mereka mendapati To Manurung duduk di atas batu lebar (batu lappae) dengan berpakaian serba kuning, bersama tiga abdinya, seorang di antaranya memayungi dengan payung kuning, seorang lagi mengipasinya dan seorang lagi memegang tempat sirih-pinang, dari logam berupa kotak (Sale’nrang). To Manurung yang didatangi menyapa Matowa 9 dan bertanya, apakah engkau itu Matowa? Matowa menjawab, iya tuan. Barulah orang banyak itu mengetahui, bahwa yang ditemuinya tadi itu bukanlah To Manurung, akan tetapi Matowa sebagai abadi To Manurung.

Sejak saat setelah tercapainya kesepakatan antara To Manurung dengan seluruh anang, ulu anang, matowa bersama segenap orang banyak untuk menobatkan To Manurung itu menjadi raja, dan saat itu pulalah Kerajaan Bone mulai berdiri. To Manurung dibawa ke Bone yang telah dipilih langsung oleh rakyat Bone, maka terciptalah kehidupan yang aman dan damai, penghidupan yang makmur, semua bergembira, dan tidak ada kesusuhan sejak hadirnya To Manurung di tengah-tengah mereka.

Masyarakat Bone tidak mengetahui nama atau gelarnya, jadi mereka hanya menamakan To Manurung sesuai dengan sifatnya. Sifat To Manurung yang menjadi dasar pemberian nama atau gelarnya adalah jika dia berdiri di tengah lapangan dan melihat orang di lapangan tersebut, maka To Manurung mengetahui berapa banyak orang di lapangan tersebut. Dengan demikian, orang memberinya gelar atau nama Mata Silompo’e Manurunge ri Matajang.

Mitos tentang To Manurung merupakan salah satu dari anasir yang ikut menguatkan nilai kebudayaan Bugis. Hal itu dipercaya sebagai cerita-cerita yang mengandung peristiwa-peristiwa dan makna-makna aktual. Ia mempunyai pengertian sebagaimana yang dikemukakan antropologi Bronislaw Malinowski, bahwa mitos adalah suatu unsur terpenting dari peradaban umat manusia, ia bukan cerita omong kosong, tetapi sesuatu kekuatan aktif yang tangguh, ia bukan suatu penjelasan intelektual atau suatu khayalan seni, tetapi ia suatu perjanjian tentang kepercayaan dan kebijaksanaan moral yang mempunyai manfaat. Mitos tentang To Manurung menjelaskan tentang kepercayaan masyarakat Bone pada saat itu, yang percaya kepada keberadaan dewa-dewa dan kepercayaan kepada To Manurung inilah dasar terbentuknya stratifikasi sosial di Kerajaan Bone.

To Manurung sebuah cerita yang mengawali seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan dan Barat, dan menjadi raja pertama semua kerajaan kecuali Kerajaan Wajo. Konsep To Manurung bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah konsep yang menganggap bahwa “raja adalah titisan dewa di atas permukaan bumi”. Orang yang mampu mengakhiri periode keterpurukan yang terjadi di Kerajaan Bone. Kalau kita melakukan reinterpretasi secara analisis mendalam mengenai To Manurung, maka To Manurung (orang yang turun yang berarti dari tempat tinggi) yang dimaksud masyarakat Bugis-Makassar adalah orang yang memiliki pandangan lebih luas dan maju serta menguasai semua aspek-aspek kepemimpinan yang diperlukan masyarakat pada masa itu, seperti yang disebutkan oleh Andi Anton Pangeran. To Manurung dianggap sebagai simbol suatu ideal type dari kepemimpinan politik (political leadership) dalam budaya politik masyarakat tradisional.

Satu hal yang menarik dari kedatangan To Manurung yakni terjadinya eksperimen baru dengan bentuk kekuasaan yang melompat dari bentuk-bentuk kekuasaan pada tingkat kaum yang dipimpin oleh matowa, ke bentuk kekuasaan baru yang lebih tinggi dan lebih dipusatkan dalam tangan satu orang yaitu To Manurung, yang dijadikan raja. Lahirnya suatu kerajaan dengan kedatangan To Manurung, tidak melalui penaklukan atau paksaan fisik atau penindasan sesuatu golongan atau kelas masyarakat.