Selama beberapa abad, pengertian korban menjadi berubah dan memiliki makna yang lebih luas. Ketika viktimologi pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1940-an, para ahli viktimologi seperti Mendelshon, Von Hentig dan Wolfgang cenderung mengartikan korban berdasarkan text book dan kamus yaitu ”orang lemah yang membuat dirinya sendiri menjadi korban”.
Pemahaman seperti itu ditentang habis-habisan oleh kaum feminist sekitar tahun 1980-an, dan kemudian mengubah pengertian korban yaitu “setiap orang yang terperangkap dalam suatu hubungan atau situasi yang asimetris. Asimetris disini yaitu segala sesuatu yang tidak imbang, bersifat ekploitasi, parasitis (mencari keuntungan untuk pihak tertentu), merusak, membuat orang menjadi terasing, dan menimbulkan penderitaan yang panjang”.
Viktimologi berasal dari kata victima (bahasa latin) yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu viktimologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang korban.
Pada dasarnya korban adalah orang, baik individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung sebagai akibat dari kejahatan subyek lain. Bila hendak membicarakan mengenai korban, maka seyogyanya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno.
Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan yaitu, ”mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan”.
Berbicara mengenai korban dalam suatu tindak pidana dalam sistim hukum nasional di Indonesia, posisinya sangatlah tidak menguntungkan. Karena korban tersebut dalam Sistim Peradilan Pidana, hanya sebagai figuran, bukan sebagai pemeran utama atau hanya sebagai saksi (korban). Seharusnya korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara sosial dan hukum.
Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan kata korban mempunyai pengertian sebagai berikut : ” korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain”.
Definisi Korban Menurut Para Ahli Dan Undang-undang Yang Berlaku Di Indonesia
Pengertian korban menurut para ahli, undang-undang, maupun konvensi- konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan antara lain :
-
Ralph De Sola
Korban (victim) adalah “person who has incured mental or physical suffring, loss of property or death resulting from an actual or attemp ted criminal offence committed by another.
-
Cohen
Korban (victim) adalah “whose pain and suffering have been made neglected by the state while it spends immense resources tu hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.
-
Z.P. Separovic
Korban (victim) adalah “ the person who are threatended, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organitation, or institution) and consequently; a vic tim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another stucture, where people are also involved”.
-
Muladi
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.40
-
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan :
“Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa :
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
-
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi menyebutkan :
“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya”.
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban menyebutkan :
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
-
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban Dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat menyebutkan :
“Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun”.
-
Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Pribciples of Justice for victims of Crime and Abuse of Power 1985
Korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, throgh acts or omission of criminal laws operative within Members States, including those laws proscribing criminal abuse of power”… through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Dengan mengacu pada pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah fiktimisasi.
Tipologi Korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekedar membantu dalam menetukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Untuk itu berikut ini akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai Tipilogi kejahatan yang mana dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu :
a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu :
-
Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
-
Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
-
Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
-
Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
-
False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
-
Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
-
Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
-
Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
-
Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya.
-
Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
-
Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
-
Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.41
Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut :
- Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
- Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
- Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
- No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.