Acne vulgaris atau jerawat, selanjutnya disebut acne, adalah penyakit kulit obstruktif dan inflamatif kronik pada unit pilosebasea yang sering terjadi pada masa remaja.[1,2] Acne sering menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun sebelum menarkhe atau haid pertama.[1] Onset acne pada perempuan lebih awal daripada laki-laki karena masa pubertas perempuan umumnya lebih dulu daripada laki-laki.[3]
Prevalensi acne pada masa remaja cukup tinggi, yaitu berkisar antara 47-90% selama masa remaja.3 Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi acne tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%.4 Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia, acne komedonal lebih sering dibandingkan acne inflamasi, yaitu 14% acne komedonal, 10% acne inflamasi.[4]
Acne memiliki gambaran klinis beragam, mulai dari komedo, papul, pustul, hingga nodus dan jaringan parut, sehingga disebut dermatosis polimorfik dan memiliki peranan poligenetik.[3] Pola penurunannya tidak mengikuti hukum Mendel, tetapi bila kedua orangtua pernah menderita acne berat pada masa remajanya, anak-anak akan memiliki kecenderungan serupa pada masa pubertas.[3] Meskipun tidak mengancam jiwa, acne memengaruhi kualitas hidup dan memberi dampak sosioekonomi pada penderitanya.[3,5]
PATOGENESIS
Patogenesis acne meliputi empat faktor, yaitu hiperproliferasi epidermis folikular sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum berlebihan, inflamasi, dan aktivitas Propionibacterium acnes (P. acnes).[1,6,7] Androgen berperan penting pada patogenesis acne tersebut.[2,5] Acne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron.[5]
Penderita acne memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne masih dalam batas normal.[1] Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum.[2,5] Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam linoleat kulit dan peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa.[1,7] Epitel folikel rambut bagian atas, yaitu infundibulum, menjadi hiperkeratotik dan kohesi keratinosit bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara folikel rambut.[1]
Selanjutnya di dalam folikel rambut tersebut terjadi akumulasi keratin, sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas, membentuk mikrokomedo.[1] Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang keluar akan menimbulkan respons inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti bahwa inflamasi dermis telah terjadi mendahului pembentukan komedo.[1]
Faktor keempat terjadinya acne adalah P. acnes, bakteri positif gram dan anaerob yang merupakan flora normal kelenjar pilosebasea. Remaja dengan acne memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa acne, tetapi tidak terdapat korelasi antara jumlah P. acnes dengan berat acne.1 Peranan P. acnes pada patogenesis acne adalah memecah trigliserida, salah satu komponen sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi.[1,7] Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes meningkatkan respons inflamasi melalui aktivasi komplemen.[1,7]
Enzim 5-alfa reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT), memiliki aktivitas tinggi pada kuli tyang mudah berjerawat, misalnya pada wajah, dada, dan punggung.[1,7] Pada hiperandrogenisme, selain jerawat, sering disertai oleh seborea, alopesia, hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan sindrom metabolik, gangguan psikologis, dan virilisasi.[8] Penyebab utama hiperandrogenisme adalah sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS, yaitu sebanyak 70%, juga menderita acne.8 Meskipun demikian, sebagian besar acne pada perempuan dewasa tidak berkaitan dengan gangguan endokrin.[8]
Penyebab utama acne pada kelompok ini adalah perubahan respons reseptor androgen kulit terhadap perubahan hormon fisiologis siklus haid. Sebagian besar perempuan mengalami peningkatan jumlah acne pada masa premenstrual atau sebelum haid.[8]
GAMBARAN KLINIS
Acne paling banyak terjadi di wajah, tetapi dapat terjadi pada punggung, dada, dan bahu. Di badan, acne cenderung terkonsentrasi dekat garis tengah tubuh. Penyakit ini ditandai oleh lesi yang bervariasi, meskipun satu jenis lesi biasanya lebih mendominasi. Lesi noninflamasi, yaitu komedo, dapat berupa komedo terbuka (blackhead comedones) yang terjadi akibat oksidasi melanin, atau komedo tertutup (whitehead comedones).[1,9] Lesi inflamasi berupa papul, pustul, hingga nodus dan kista. [1,9] Scar atau jaringan parut dapat menjadi komplikasi acne noninflamasi maupun acne inflamasi. [1]
Derajat acne berdasarkan tipe dan jumlah lesi dapat digolongkan menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat pada tabel dibawah ini.
Tabel Klasifikasi derajat acne berdasarkan jumlah dan tipe lesi [10]
(-) tidak ada, (+) bisa ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak sekali
LABORATORIUM
Meskipun androgen berperan penting, sebagian besar penderita acne tanpa gejala hiperandrogenisme memiliki kadar androgen serum normal,[2,7] dan derajat berat acne tidak berkorelasi dengan kadar androgen serum.[2] Diduga, androgen hanya sebagai faktor pemicu acne.[2] Klinis acne lebih ditentukan oleh produksi androgen lokal di kulit yang berlebihan dan/atau reseptor androgen yang banyak serta sangat responsif.[2]
PENGOBATAN
Pemahaman mengenai patogenesis acne dengan keempat faktor yang berperan akan mempermudah prinsip penanganan acne, yaitu memperbaiki keratinisasi folikel, menurunkan aktivitas kelenjar sebasea, menurunkan populasi bakteri P. acnes, dan menekan inflamasi.[1,7] Kongres European Academy of Dermatology and Venerology ke-9 di Jenewa tahun 2002 mengeluarkan konsensus tentang pengobatan acne seperti tercantum pada tabel dibawah ini.[9]
Tabel Algoritme internasional untuk pengobatan acne [9]
Akan tetapi, penentuan derajat acne untuk pengobatan tidak hanya berdasarkan jumlah lesi semata, tetapi juga ditentukan oleh beberapa faktor lain, misalnya distribusi lesi lokalisata atau generalisata, derajat inflamasi, lama sakit, respons terapi sebelumnya, dan efek psikososial.[10] Sebagian besar acne ringan sampai sedang membutuhkan terapi topikal. Acne sedang sampai berat menggunakan kombinasi terapi topikal dan oral. [10] Pemeriksaan klinis yang baik diperlukan untuk menentukan jenis acne inflamasi, noninflamasi, atau campuran keduanya, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat. [10]
Terapi acne dimulai dari pembersihan wajah menggunakan sabun. Beberapa sabun sudah mengandung antibakteri, misalnya triclosan yang menghambat kokus positif gram. Selain itu juga banyak sabun mengandung benzoil peroksida atau asam salisilat.[1]
Bahan topikal untuk pengobatan acne sangat beragam. Sulfur, sodium sulfasetamid, resorsinol, dan asam salisilat, sering ditemukan sebagai obat bebas. Asam azaleat dengan konsentrasi krim 20 persen atau gel 15 persen, memiliki efek antimikroba dan komedolitik, selain mengurangi pigmentasi dengan berfungsi sebagai inhibitor kompetitif tirosinase. Benzoil peroksida merupakan antimikroba kuat, tetapi bukan antibiotik, sehingga tidak menimbulkan resistensi.[1,7] Antibiotik topikal yang sering digunakan adalah klindamisin dan eritromisin. Keduanya dapat digunakan dengan kombinasi bersama benzoil peroksida dan terbukti mengurangi resistensi.[1,6,7]
Retinoid merupakan turunan vitamin A yang mencegah pembentukan komedo dengan menormalkan deskuamasi epitel folikular.[6] Retinoid topikal yang utama adalah tretinoin, tazaroten, dan adapalene.[6] Tretinoin paling banyak digunakan, bersifat komedolitik dan antiinflamasi poten. Secara umum, semua retinoid dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan. Pasien dapat disarankan menggunakan tretinoin dua malam sekali pada beberapa minggu pertama untuk mengurangi efek iritasi. Tretinoin bersifat photolabile sehingga disarankan aplikasi pada malam hari.[1]
Mekanisme kerja berbagai obat topikal dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel Efek terapeutik obat topikal [10]
(-) tidak ada efek, (+) dapat efektif, (+) cukup efektif, (++) efektif
Salah satu terapi sistemik acne adalah antibiotik. Tetrasiklin banyak digunakan untuk acne inflamasi. Meskipun tidak mengurangi produksi sebum tetapi dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas dan menekan pertumbuhan P .acnes.[1] Akan tetapi tetrasiklin tidak banyak digunakan lagi karena angka resistensi P.acnes yang cukup tinggi.[7] Turunan tetrasiklin yaitu doksisiklin dan minosiklin menggantikan tetrasiklin sebagai terapi antibiotik oral lini pertama untuk acne [1,7] dengan dosis 50- 100 mg dua kali sehari.[1] Eritromisin dibatasi penggunaannya, yaitu hanya pada ibu hamil, karena mudah terjadi resistensi P.acnes terhadap eritromisin.[1] Resistensi dapat dicegah dengan menghindari penggunaan antibiotik monoterapi, membatasi lama penggunaan antibiotik, dan menggunakan antibiotik bersama benzoil peroksida jika memungkinkan.[1]
Isotretinoin oral adalah obat yang paling efektif untuk acne.[1,2] Dosis isotretinoin yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg/hari dengan dosis kumulatif 120-150 mg/kg berat badan.[1] Obat ini langsung menekan aktivitas kelenjar sebasea, menormalkan keratinisasi folikel kelenjar sebasea, menghambat inflamasi, dan mengurangi pertumbuhan P. acnes secara tidak langsung.[2] Isotretinoin paling efektif untuk acne nodulokistik rekalsitran dan mencegah jaringan parut.[1,2] Meskipun demikian, isotretinoin tidak bersifat kuratif untuk acne. Penghentian obat ini tanpa disertai terapi pemeliharaan yang memadai, akan menimbulkan kekambuhan acne.[2] Selain itu, penggunaan obat ini harus berhati- hati pada perempuan usia reproduksi karena bersifat teratogenik.[2] Penggunaan isotretinoin dan tetrasiklin bersamaan sebaiknya dihindari karena meningkatkan risiko pseudotumor serebri.[1]
Suntikan glukokortiokoid intralesi dapat diberikan untuk lesi acne nodular dan cepat mengurangi inflamasinya.[1] Risiko tindakan ini adalah hipopigmentasi dan atrofi.[1] Modalitas lain yang dapat digunakan untuk mengatasi acne adalah radiasi ultraviolet yang memiliki efek antiinflamasi terhadap acne. Radiasi UVB atau kombinasi UVB dan UVA dapat bermanfaat untuk acne inflamasi, tetapi perlu diwaspadai potensi karsinogeniknya.[1]
PENGARUH MEROKOK DAN MAKANAN TERHADAP ACNE
Merokok dilaporkan berkontribusi terhadap prevalensi acne dan derajat acne. Rokok mengandung banyak asam arakhidonat dan hidrokarbon aromatik polisiklik yang menginduksi jalur inflamasi melalui fosfolipase A2, dan selanjutnya merangsang sintesis asam arakhidonat lebih banyak. Selain itu, diduga terdapat reseptor asetilkolin nikotinik
keratinosit yang menginduksi hiperkeratinisasi sehingga terjadi komedo.3 Perokok pada umumnya mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan sedikit lemak tidak jenuh sehingga asupan asam linoleat lebih sedikit dibandingkan dengan bukan perokok.[5]
Banyak penelitian belum dapat menyimpulkan peranan diet terhadap acne dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.[1] American Academy of Dermatology mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2007 bahwa restriksi kalori tidak memiliki dampak pada pengobatan acne dan bukti- bukti yang ada belum cukup kuat untuk menghubungkan konsumsi makanan tertentu dengan acne.[11] Akan tetapi, beberapa penelitian menemukan bahwa produk olahan susu memperberat acne. Produk olahan susu, mungkin juga makanan lain, mengandung hormon 5 α reduktase dan prekursor DHT lain yang merangsang kelenjar sebasea. Selain itu, acne dipengaruhi oleh hormon dan growth factors, terutama insulin-like growth factor (IGF-1) yang bekerja pada kelenjar sebasea dan keratinosit folikel rambut. Produk olahan susu mengandung enam puluh growth factors, salah satunya akan meningkatkan IGF-1 langsung melalui ketidakseimbangan peningkatan gula darah dan kadar insulin serum. Makanan dengan indeks glikemik tinggi juga meningkatkan konsentrasi insulin serum melalui IGF-1 dan meningkatkan DHT sehingga merangsang proliferasi sebosit dan produksi sebum.[2,11]
Bersama dengan terapi antiacne standar, semua produk olahan susu dan makanan dengan indeks glikemik tinggi, sebaiknya dihentikan minimal 6 bulan. Suplementasi vitamin A dapat mengurangi sumbatan pori pada individu yang kekurangan asupan vitamin A. Makanan mengandung asam lemak esensial omega 3 dapat mengurangi inflamasi.[2,11]
Sumber : Theresia Movita, Acne Vulgaris, Erha Clinic & Erha Apothecary, Kelapa Gading, Jakarta, Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
- Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM, Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill, 2008:690-703.
- Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.
- Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68.
- Perkins AC, Cheng CE, Hillebrand GG, Miyamoto k, Kimball AB. Comparison of the epidemiology of acne vulgaris among Caucasian, Asian, Continental Indian and African American women. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(9):1054-60.
- Zouboulis CC, Eady A, Philpott M, Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliffe WC, Rosenfield R. What is the pathogenesis of acne. Experimental Dermatology. 2005; 14: 143-52.
- Haider A, Shaw JC. Treatment of acne vulgaris. JAMA. 2004;292(6):726-35.
- Harper JC. An update on the pathogenesis and management of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol. 2004;51(1):S36-8.
- Addor FAS, Schalka S. Acne in adult women. An Bras Dermatol 2010;85(6):789-95.
- Jacyk WK. Acne vulgaris. Grades of severity and treatment options. SA Fam Pract. 2003;45(9):32-6.
- Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Topical therapy. In: Cunliffe WJ, Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:107-14.
- Pappas A. The relationship of diet and acne-a review. Dermato-endocrinology. 2009;I(5);262-7.