Dalam keseharian, “penyakit psikologis” Cinderella complex ini biasa disebut dengan Syndrom Umur 20, Syndrom Umur 21, Syndrom Umur 22, Syndrom Umur 23, dan seterusnya sepanjang si perempuan itu addicted dengan khayalan akan bertemu dengan pangeran impiannya sebagaimana yang terjadi di dalam dongeng Cinderella.
Seorang wanita yang mengalami Cinderalla compleks, sangat membutuhkan seorang suami yang bersifat seperti ayahnya, yang dewasa, mengayomi, dan selalu melindungi
Kaum perempuan secara alamiah sering mengalami hambatan karena sistem reproduksinya akhirnya membentuk perempuan untuk lebih banyak mengurusi hal-hal di dalam rumah tangga. Hal tersebut menyebabkan perkembangan kekuatan fisik kaum perempuan menjadi lemah dan sebaliknya perempuan justru lebih mengembangkan nilai-nilai feminimnya yang secra fisik menonjolkan kelemah lembutan, kehalusan dan kecantikan.
Hal ini berkembang sehingga secara berlahan perempuan mulai tergantung kepada laki-laki karena kemampuan mempertahankan hidupnya tidak terlatih secara fisik. Selain itu juga ditambah dengan perkembangannya dominasi kekuasaan dari kaum lelaki yang semakin kuat, sehingga lama-kelamaan keberadaan perempuan secara tidak ekplisit menjadi tidak setara lagi dengan kaum lelaki. Bersama dengan itu tumbuh dan berkembang pula peradapan dan struktur tatanan kehidupan bermasyarakat yang justru semakin mengukuhkan dominasi kaum lelaki. Hal tersebut akan berpengaruh secara psikis, dan pada akhirnya perempuan menajadi pribadi yang tidak terbiasa untuk menghadapi ketakutan, persaingan, tantangan dan terus maju menghadapi segala rintangan.
Menurut psikolog Coburn (Dowling,1992) setiap kali perempuan menghadapi hidup yang semakin berat, kemungkinan untuk menyerah dan masuk ke dalam perlindungan pria selalu ada. Hal ini mengurangi kekuatnya keinginan untuk bertahan mandiri.
Colette Dowling berupaya untuk mendefinisikan perempuan sebagai dimotivasi oleh hasrat tak sadar untuk dirawat sebagai takut kemerdekaan disebut “Cinderella complex”. Sebuah aspek penting dari pekerjaan dapat didefinisikan sebagai identifikasi aspek dari fenomena yang lebih besar seperti mengapa wanita memilih untuk tinggal dalam hubungan disfungsional.
Seperti cinderella, banyak orang yang masih mengharap orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar diri mereka untuk mengubah kehidupan mereka. Dalam diri mereka tersembunyi suatu keinginan untuk diselamatkan dan suatu keinginan yang dalam akan ketergantungan. Dari hasil wawancara Colette Dowling dengan banyak perempuan, ia menyatakan bahwa banyak perempuan yang tidak menyadari “masalah” ini. Mereka mengatakan bahwa yang mereka inginkan adalah kemerdekaan. Namun secara emosional, mereka memperlihatkan tanda- tanda penderitaan karena mengalami konflik batin yang mendalam.
Kondisi tersebut terus berkembang sehingga secara perlahan perempuan mulai tergantung kepada laki-laki karena kemampuan mempertahankan hidupnya tidak terlatih secara fisik. Selain itu juga ditambah dengan berkembangya dominasi kekuasaan dari lelaki yang semakin kuat, sehingga lama-kelamaan keberadaan perempuan secara tidak ekplisit menjadi tidak setara lagi dengan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, tumbuh dan berkembang pula peradaban dan struktur tatanan kehidupan bermasyarakat yang justru semakin mengukuhkan dominasi kaum lelaki (Dowling, 1992).
Dominasi kaum laki-laki akan berpengaruh secara psikis dan pada akhirnya perempuan menajadi pribadi yang tidak terbiasa untuk menghadapi kekuatan, persaingan, tantangan dan terus maju menghadapi se, tantangan dan terus maju menghadapi segala rintanga. Bahkan menurut psikolog Cobrun bahwa setiap kali perempuan menghadapi hidup yang semakin berat, kemungkinan untuk menyerah dan masuk kedalam perlindungan pria selalu ada. Hal ini mengurangi kuatnya keinginan untuk bertahan mandiri (Dowling, 1992).
Fenomena ini menjadi alasan mengapa begiti banyak perempuan mandiri tampak mengalami “lapse” atau ketidak seimbangan dalam stereotip peran-perannya yang memberi peluang menjadi menjadi pengelolah rumah tangga. Hal ini bukan disebabkan karena adanya represis seksis melainkan oleh adanya efek faktor ketakutan mendasar dan konflik yang dihadapi menjadi tantangan pada anak remaja dan perempuan dewasa.
Keinginan perempuan untuk diselamatkan itu sebenarnya telah berakar sejak jaman manusia hidup digua-gua, saat kekuatan fisik laki-laki lebih besar dibutuhkan untuk melindungi kaum ibu dan anak dari binatang buas. Akan tetapi keinginan tersebut sudah tidak tepat lagi pada zaman moderen ini. Jika diukur dari hal-hal apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di dunia moderen ini, pria seharusnya tidaklah lebih kuat, lebih pandai, atau lebih berani dari pada perempuan. Namun pada kenyatannya hingga jaman moderen ini perempuan masih bergantung pada pria. Inilah salah satu faktor penyebab posisi perempuan yang selalu dibawah pria.
Kebebasan dan kemandirian tidak dapat diminya dari orang lain baik dari masyarakat maupun dari pria, tetapi sehar dikembangkan dari dalam diri sendiri. Dan untuk meraihnya, perempuan harus melepas rasa ketergantungan itu, yang sebelumnya digunakan sebagai tempat berlindung. Dengan bebas dari Cinderella complex, seorang perempuan mampu berdiri dengan mantap, berani untuk maju, dan memaksimalkan segala potensi yang ada dalam dirinya.
Fenomena ini dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh serangkaian motivasi spesifik atau penyebab. Dowling mengidentifikasi hanya satu motivasi, sedangkan sindrom sebenarnya adalah kombinasi dari banyak motivasi, yang dalam diri mereka karakteristik yang membentuk kompleks.
Istilah sindrom sebagian besar telah digunakan untuk menentukan kondisi jelas di kedokteran . Namun, dalam beberapa dekade terakhir istilah telah digunakan di luar obat untuk mengacu pada kombinasi fenomena terlihat pada asosiasi.
Teori Cinderella complex
Terminologi kecenderungan sebagian besar digunakan untuk mendefinisikan kondisi keterbukaan yang jelas dalam pengobatan medis. Namun demikian dalam perkembangan zaman terminologi tersebut juga sudah banyak digunakan diluar konteks masalah kesehatan melainkan merujuk kepada kombinasi fenomena yang terlihat membentuk asosiasi.
Kecenderungan Cinderella complex tercermin dari beberapa ungkapan Dowling (1992) berikut ini :
the psychological need to avoid independence—the”wish to be saved”—seemed to me an important issue, quite probably the most important issue facing women today. Women ware brought up to depend on a man and to feel naked and frightened without one. We were taught to belive that as women we cannot satand alone, that we are too fragile, too delicate, needful of protection. So that now, in these enlightened days, when our intellects tell us to stand on our own two feet, unresolved emotional issues drag us down. At the same time that we yearn to be fetterless and free, we also yearn yearn to be taken care.
Artinya, kebutuhan secara psikologis yang berusaha menghindari kemandirian menimbulkan “keinginan untuk diselamatkan” adalah menjadi sebuah isu penting yang diadapi oleh kebanyakan perempuan saat ini. Perempuan dibesarkan untuk tergantung pada laki-laki dan merasa lemah tanpa kehadiran laki- laki. Kita diajarkan untuk percaya bahwa perempuan tidak bisa berdiri diatas kaki sendiri, bahwa kita perempuan terlalu rapuh, terlalu delikatif, membutuhkan perlindungan. Sehingga sekarang ini, saat intelektual kita menyuruh kita untuk mandiri, isu-isu emosional yang tidak terpenuhkan bertindak sebaliknya. Pada saat yang sama ingin menjadi manusia yang bebas sekaligus juga ingin menjadi orang yang dilindungi.
Pandangan Tentang Cinderella complex
Tinjauan aspek historis
Sejak dulu posisi perempuan selalu berada dibawah laki-laki. Perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan yang tinggidan tidak diperbolehkan memegang jabatan politik atau karir. Namun, sejak gerakan feminisme pertama pada tahun 1930-an, perubahan besar mulai terjadi. Mereka terus memperjuangkan masalah kesetaraan gender dan menghasilakan kehidupan perempuan yang lebih maju.
Wollstonecraft dalam bukunya “A Vindication of the rights of women” mengemukakan bahwa sampai abad ke-18, pekerjaan-pekerjaan yang bersifat produktif, yakni pekerjaan yang mendatangkan uang untuk keluarga, dilakukan diseputar keluarga baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, ketika kekuatan kapitalisme industrial mulai mendorong pekerjaan produktif bergerak dari rumah kepabrik, maka pada saat itulah, sebagai akibatnya, kalangan perempuan mulai ditinggalkan.
Proses ini membuat para perempuan kelas menengah yang sudah menikah “dirumahkan” karena kebanyakan mereka menikah dengan para pengusaha atau kaum profesional yang sudah mapan.
Karena penghasilan suami mereka yang sudah cukup memadai, para istri diminta untuk tidak bekerja, sehingga bisa dikatakan tidak produktif. Mereka seperti “burung dalam sangkar” yang harus mengorbankan kebebasan dan kemandirian mereka sekaligus harus bangga dan mendorong kemajuan yang diperoleh oleh suami dan anak-anak mereka lama-kelamaan juga akan merasakan kehilangan rasa percaya diri serta kemanirian (Arivia, 2006).
Pergerakan perempuan tidak hanya dilakukan melalui kritikan-kritikan ide dari wollstonecraft saja, namun juga lewat pergerakan-pergerakan yang diorganisir lewat kelompok. Perjuangan kaum wanita pada abad ke-20 diwarnai dengan maraknya demonstrasi ditahun 1960-an, antara lain mengenai tuntutan kesempatan kerja dan upah yang setara dengan laki-laki, pelecehan seksual dan seksismen diperusahaan-perusahaan multinasional, serta hak untuk mendapatkanpendidikan yang sama dengan laki-laki.
Di Indonesia, pergerakan feminisme terbagi dalam empat tahap, pada tahap pertama dimunculkan persoalan hak memilih dalam pemilihan pejabat publik dan hak akan pendidikan. Tahap kedua memunculkan persoalan hak politik dan organisasi perempuan yang ditemui pada Orde Lama. Dan pada tahap ketiga, yaitu masa Orde Baru, yang ditampilkan adalah tugas-tugas dosmestikasi perempuan sebagaimana yang diinginkan negara. Dan yang keempat, di Era Reformasi, yang dimunculkan adalah pergerakan-pergerakan liberal yang bertemakan anti kekerasan terhadap perempuan. (Arivia, 2006).
Memang harus diakui bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh para feminis merupakan kerja keras yang sangat menggembirakan untuk sebagai besar perempuan pada generasi sekarang yang telah, merasakan manfaatnya. Akan tetapi, hal ini melahirkan suatu generasi perempuan yang memiliki cara pandang yang baru. Hal ini tentu saja berdampak positif maupun negatif. Dilihat dari beberapa sisi perempuan semakin maju, namun disisi yang lain, perempuan kadang sudah tidak memperdulikan kodratnya sebagai seorang perempuan. Mereka tidak memahami arti kebebasan yang sesungguhnya. Kebebasan tidak hanya merupakan hak bagi manusia, melainkan juga merupakan suatu kewajiban. Perempuan hanya menuntut hak namun tidak menjalankan kwajibannya.
Tinjauan Aspek Kultural
Budaya patriarki tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk melalui proses panjang oleh organisasi-organisasi sosial. Pada jaman prasejarah kegiatan berburu hanya dilakukan oleh laki- laki karena fisiknya yang jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan perempuan. Kegitan ini mulai menyisihkan perempuan. Banyak ritual-ritual yang dilakukan untuk laki-laki yang beranjak dewasa. Berbeda dengan nasib perempuan yang beranjak dewasa, yang ditandai dengan menstruasi pertama, mereka diisolasi dari lingkungan sekitarnya dalam priode tertentu. Perempuan di didik untuk menerima kenyataan kodratnya , sedangkan laki-laki diberi kekuasaan untuk menjadi manusia yang bijak dan bertanggung jawab.
Kekuasaan laki-laki semakin merambah ketika budaya patrilineal mulai muncul, yaitu sistem budaya dimana garis keturunan tidak lagi ditentukan oleh ibu, melainkan bapak. Perempuan diharuskan untuk tinggal bersama suaminya atau keluarga suaminya. Dikebudayaan cina, para perempuan yang telah meniakah dan tinggal di rumah mertuanya diharuskan untuk berbakti sepenuhnya.
Perempuan Athena pada zaman dahulu hanya diperbolehkan beredar didalam rumah dan tidak boleh keluar dari batas pagar. Di timur tengah, perempuan diharuskan memakai cadar.
Pada abad ke- 16, perempuan di italia tidak dibenarkan untuk memiliki properti sehingga terisolasi dari kehidupan ekonomi. Pada abad ke-18, perempuan tidak dibenarkan mengikuti kuliah diperguruan tinggi karena dianggap tidak memiliki kapasitas otak yang cukup. Perlahan-lahan, perempuan semakin kehilangan kekuatan politis dan kekusaaannya.
Ketika gerakan feminisme mulai muncul, para perempuan mulai mengumpulkan kekuatannya. Namun, hingga saat ini, perempuan masih selalu dibawah laki-laki. Budaya patriarki yang sudah sangat kuat tidaklah mudah untuk dihilangkan. Nilai-nilai budaya patriartki memasuki semua aspek kehidupan. Meskipun para feminin yang sudah merasa dirinya cukup kuat pun sebenernya masih lemah jika dibandingkan laki-laki. Ada sebuah ketakutan tersembunyi yang telah dibentuk oleh budaya patriartki sejak kecil, dan itulah yang disebut sebagai Cinderella complex, ketakutan perempuan akan kemandirian.
Tinjauan kehidupan
Kebebasan adalah hal utama yang diperjuangkan oleh kaum feminis selama ini. Kebanyakan mereka hanya menganalisis dan menyalahkan sistem patriaki yang dibentuk oleh laki-laki, yang menghambat mereka untuk maju. Memang, budaya budaya patriaki telah membuat para perempuan terhambat dan tidak memiliki kebebasan seutuhnya. Namun, apakah benar laki-laki yang harus merefleksi dirinya, Apakah benar tidak ada yang harus dianalisis dan diperbaiki dari diri perempuan itu sendiri.
Cinderella complex, demikianlah istilah yang digunakan oleh Colletee Dowling untuk merujuk pada hambatan terbesar dalam diri perempuan yang menghalangi mereka untuk maju, yaitu ketakutan akan kemandirian. Hingga saat ini, perempuan secara tidak sadar masih belum bebas dengan rasa ketergantungannya terhadap laki- laki. Sesungguhnya masih menganut nilai-nilai patriarki itu sendiri.
Meskipun sudah banyak perempuan yang berkarir tinggi dan terlihat mandiri, mereka pun sebenarnya masih merasa bahwa “sudah seharusnya” laki-lakilah yang bertugas untuk melindungi perempuan. Kebebasan yang selama inidi perjuangkan perempuan pun sebenarnya adalah sesuatu yang sangat menakutkan ketika pada akhirnya mereka menerima kebebasan itu.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Collette Dowling kepada banyak perempuan, mereka kebanyakan malah merasa ketakutan jika diberi kekuasaan yang lebih tinggi, bahkan mereka malah mundur dan akhirnya memberi kekuasaan itu pada laki-laki. Rasa tidak percaya diri dan ketakutan itulah yang sebenarnya menjadi penghalang bagi kaum perempuan untuk bebas berfikir maupun beraktualisasi diri.
Kebebasan itu sendiri sebenarnya menuntut sebuah beban dan tanggung jawab dari orang yang menerimanya. Kebanyakan perempuan tidak menyadari dan mereka masih belum siap untuk menghadpi beban dari kebebasan itu sendiri. Mereka bukannya tidak mampu melainkan merasa ketakutan dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Karena itulah, perempuan tidak akan pernah bebas jika ia belum menghilangkan rasa ketakutan itu. Kebebsan yang sebenarnya adalah ketika seseorang perempuan bebas dari rasa takut itu sendiri.